Sabtu, 16 Agustus 2025 13:22:16 WIB

Opini: Dari Fun Bike di Beijing hingga Flashmob di Jakarta, Merangkai 80 Tahun Kemerdekaan dan 75 Tahun Persahabatan Indonesia-Tiongkok
Indonesia

Muhammad Rizal Rumra

banner

Peserta flashmob interaktif bertajuk “Sayap Perdamaian” di Car Free Day Jakarta, yang digelar untuk memperingati 80 tahun kemerdekaan Indonesia sekaligus 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia–Tiongkok

Perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 2025 memberikan panggung yang istimewa tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, terutama di Tiongkok. Melalui rangkaian acara yang berlangsung di berbagai kota, diplomasi kultural antara Indonesia dan Tiongkok menemukan momentumnya.

Di Beijing, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menggelar “Gempita Merdeka: Indonesia Fair 2025” yang memadukan promosi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kuliner nusantara, kesenian tradisional, hingga pameran pariwisata.

Acara ini secara strategis mengundang publik Tiongkok, komunitas diaspora, dan kalangan diplomatik, sehingga berfungsi ganda sebagai sarana promosi ekonomi dan penguatan citra bangsa.

Sebelum puncak acara, Fun Bike sejauh 17 kilometer yang melibatkan diplomat, pelajar, dan masyarakat umum menegaskan pendekatan diplomasi antar-masyarakat yang menjadi ciri khas hubungan kedua negara.

Sementara di Shanghai, turnamen bulu tangkis “Smash Nusantara 2025” yang diselenggarakan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) bersama komunitas badminton di Shanghai atau Indonesia Connect (INACON) menjadi simbol kedekatan kultural, mengingat bulu tangkis merupakan olahraga yang memiliki resonansi emosional bagi kedua bangsa.

Di Indonesia sendiri, nuansa perayaan terjalin dalam bentuk yang berbeda. Salah satu yang paling menonjol adalah flashmob interaktif bertajuk “Sayap Perdamaian” di kawasan Car Free Day Sudirman, Jakarta, pada 3 Agustus 2025.

Aksi ini diprakarsai oleh China Media Group (CMG) bekerja sama dengan Bharata Online Indonesia dan menggunakan lagu Mandarin “Ru Yuan” yang tengah populer, sebagai medium penyampaian pesan anti-perang dan persahabatan lintas bangsa.

Kehadiran flashmob ini merepresentasikan strategi diplomasi publik modern yang memanfaatkan ruang publik kota, partisipasi komunitas, serta kemudahan berbagi konten di media sosial untuk membangun persepsi positif.

Di sisi lain, dimensi budaya populer turut hadir melalui penayangan film animasi “Merah Putih: One for All” pada pertengahan Agustus 2025. Meski menuai kontroversi di ruang publik terkait kualitas animasi, dugaan penggunaan aset yang dipermasalahkan, dan klarifikasi mengenai pendanaan, film ini tetap berfungsi sebagai representasi simbolik upaya menarasikan nasionalisme dalam bentuk hiburan massa.

Dari sudut pandang politik budaya, film tersebut menjadi arena diskursif di mana publik Indonesia bernegosiasi mengenai citra diri dan identitas nasional. Kontroversi yang menyertainya justru menunjukkan dinamika sehat dalam ekosistem budaya, di mana kritik menjadi bagian dari proses penyempurnaan kualitas karya nasional.

Jika dianaisis menggunakan kerangka teori hubungan internasional, khususnya konsep “complex interdependence” yang diperkenalkan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye, interaksi kultural ini merupakan elemen penting dari jaringan keterhubungan antara Indonesia dan Tiongkok yang melampaui dimensi politik dan ekonomi formal.

Complex interdependence menekankan bahwa negara-negara modern terhubung melalui berbagai saluran, mulai dari diplomasi pemerintah, perdagangan, hingga interaksi antarwarga.

Dalam konteks ini, Fun Bike, turnamen bulu tangkis, Indonesia Fair, dan flashmob perdamaian merupakan representasi konkret dari saluran-saluran tersebut, yang berfungsi memperkuat modal sosial dan mengurangi potensi konflik.

Selain itu, semua bentuk kegiatan tadi menunjukkan kedekatan Indonesia-Tiongkok yang selama ini telah memberikan kontribusi positif tidak hanya di bidang budaya melainkan juga ekonomi maupun politik.

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB/WHOOSH) adalah salah satu yang paling menonjol. Sebagai bagian dari inisiatif Belt and Road (BRI), proyek ini tidak hanya mempersingkat waktu tempuh, tetapi juga mendorong konektivitas wilayah, mengubah pola perjalanan, dan membuka peluang pertumbuhan pariwisata dan ekonomi lokal.

Dalam ranah ekonomi, Tiongkok juga menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia dengan realisasi investasi triliunan rupiah per tahun, yang mengalir ke sektor industri pengolahan nikel, energi terbarukan, infrastruktur, logistik, dan manufaktur.

Sementara di sektor energi dan iklim, kerja sama dalam pengembangan panel surya, baterai, dan teknologi ramah lingkungan mulai berkembang sebagai bagian dari agenda transisi energi Indonesia.

Kontribusi lain datang dari sektor pariwisata dan pendidikan. Wisatawan Tiongkok menjadi salah satu pasar utama bagi destinasi seperti Bali, yang turut menghidupkan perekonomian daerah dan sektor UMKM.

Di bidang pendidikan, ratusan nota kesepahaman antaruniversitas membuka jalur pertukaran pelajar, beasiswa, penelitian bersama, dan pelatihan teknis di bidang strategis seperti kendaraan listrik, kecerdasan buatan, dan teknologi informasi. Transfer pengetahuan ini memperluas basis sumber daya manusia terampil di Indonesia, yang sangat penting untuk pembangunan jangka panjang.

Sebaliknya, kontribusi Indonesia terhadap Tiongkok juga signifikan, terutama dalam penyediaan komoditas strategis. Indonesia merupakan pemasok utama nikel yang menjadi bahan baku penting industri baterai dan kendaraan listrik Tiongkok.

Selain itu, ekspor batubara Indonesia mendukung stabilitas energi Tiongkok, sementara produk-produk agribisnis seperti minyak sawit mentah (CPO), karet, dan hasil perikanan mengisi kebutuhan industri pangan dan manufaktur Tiongkok.

Pada level budaya, Indonesia juga menyumbang talenta kreatif dan konten hiburan, termasuk musik, permainan digital, dan seni pertunjukan, yang memperkaya lanskap budaya populer di Tiongkok.

Sementara itu dari sudut pandang konstruktivisme, kedekatan identitas antara Indonesia dan Tiongkok diperkuat oleh kesamaan minat dan aktivitas budaya. Olahraga bulu tangkis, misalnya, bukan hanya menjadi ajang kompetisi tetapi juga ruang diplomasi kultural yang mempererat hubungan kedua masyarakat. Kesamaan ini mempermudah framing positif dalam isu-isu ekonomi dan politik yang lebih kompleks, sehingga menjadi modal sosial yang berharga bagi hubungan bilateral.

Tentu saja, hubungan yang erat tidak bebas dari tantangan. Isu lingkungan di industri smelter, keamanan data dalam penggunaan platform digital Tiongkok, dan perbedaan posisi dalam isu Laut Tiongkok Selatan menjadi beberapa contoh gesekan yang harus dikelola.

Namun, mekanisme dialog bilateral dan forum kerja sama yang ada menunjukkan preferensi kedua pihak untuk menyelesaikan perbedaan melalui diplomasi dan institusi, bukan eskalasi konflik.

Dalam konteks ini, kegiatan kultural seperti Indonesia Fair atau flashmob perdamaian berfungsi sebagai “pelumas sosial” yang membantu menjaga stabilitas hubungan ketika agenda politik dan ekonomi menghadapi ketegangan.

Oleh karena itu, memperingati 80 tahun kemerdekaan Indonesia dan 75 tahun hubungan diplomatik dengan Tiongkok bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan pembuktian bahwa diplomasi kontemporer harus berbasis pada pengalaman dan keterhubungan manusia.

Gowes bersama di Beijing, turnamen bulu tangkis di Shanghai, flashmob di Jakarta, hingga kontroversi film nasionalisme di layar lebar, semuanya adalah bagian dari narasi besar bahwa hubungan antarnegara dibangun tidak hanya oleh perjanjian resmi, tetapi juga oleh interaksi kultural dan emosional yang berulang.

Jika dimanfaatkan dengan strategi yang cerdas, interaksi ini dapat mengonversi kedekatan menjadi kemajuan bersama, memastikan bahwa kedua negara tidak hanya bertumbuh berdampingan, tetapi juga saling menopang dalam menghadapi tantangan global.

Komentar

Berita Lainnya

Kegiatan interaktif tentang adat istiadat Indonesia

Rabu, 5 Oktober 2022 15:20:17 WIB

banner
Kapolri Jenderal Pol Indonesia

Jumat, 7 Oktober 2022 10:59:49 WIB

banner