Beijing, Radio Bharata Online - Sutradara Shen Ao, yang menggarap film laris "Dead to Rights", mengatakan di Beijing pada hari Kamis (7/8) bahwa film tersebut bertujuan untuk mengingatkan masyarakat agar mengingat sejarah, menghormati para martir, dan menghargai perdamaian.

Shen bergabung dengan perwakilan industri perfilman Tiongkok lainnya dalam konferensi pers untuk jurnalis Tiongkok dan asing yang diselenggarakan oleh Kantor Informasi Dewan Negara.

Berdasarkan bukti foto terverifikasi tentang kekejaman Jepang di masa perang selama Pembantaian Nanjing, "Dead to Rights" menceritakan kisah sekelompok warga sipil Tiongkok yang mencari perlindungan di sebuah studio fotografi selama pendudukan brutal Nanjing oleh agresor Jepang.

Dalam upaya putus asa untuk bertahan hidup, mereka terpaksa membantu seorang fotografer militer Jepang dalam proses pencetakan film, tetapi kemudian menemukan bahwa negatif film tersebut berisi bukti kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Jepang di seluruh kota. Bertekad untuk mengungkap kebenaran, mereka diam-diam menyimpan negatif film itu dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelundupkannya ke dunia luar.

Film ini telah menggemparkan box office musim panas Tiongkok, meraup lebih dari 1,8 miliar yuan (sekitar 4,1 triliun rupiah) dalam 13 hari sejak tayang di bioskop pada 25 Juli 2025, menurut data dari platform tiket daring.

Menurut sang sutradara, film itu sangat penting dalam lingkungan internasional saat ini karena tahun ini menandai peringatan 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok Melawan Agresi Jepang.

"Dirilis pada 25 Juli tahun ini, 'Dead to Rights' diproduksi untuk memperingati 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok Melawan Agresi Jepang dan Perang Anti-Fasis Dunia. Berlatar tahun 1937, saat Pembantaian Nanjing, film ini menceritakan bagaimana segelintir warga biasa menggunakan kecerdasan dan keberanian mereka melawan penjajah untuk mengungkap kekejaman mereka kepada dunia. Saya berharap film ini akan membantu penonton mengingat sejarah, menghormati para martir, menghargai perdamaian, menciptakan masa depan yang cerah, dan membangun konsensus," ujarnya.

Shen juga berbicara tentang tanggung jawab para sineas Tiongkok untuk meningkatkan profil global sinema Tiongkok.

"Semua orang tahu bahwa Tiongkok memiliki pasar domestik yang besar, tetapi generasi sineas kita juga memikul tanggung jawab untuk membawa film-film Tiongkok melampaui batas-batas negara kita. Saya pikir film-film Tiongkok perlu berevolusi dari sekadar menampilkan simbol-simbol Tiongkok menjadi menyampaikan semangat Tiongkok. Kita perlu menghindari penumpukan unsur-unsur Tiongkok dan sebaliknya mengungkapkan nilai-nilai inti budaya dan semangat Tiongkok," ujarnya.

Pembantaian Nanjing terjadi ketika pasukan Jepang merebut ibu kota Tiongkok saat itu pada 13 Desember 1937. Selama enam minggu, mereka membunuh sekitar 300.000 warga sipil dan tentara tak bersenjata Tiongkok dalam salah satu episode paling biadab dalam Perang Dunia II.