BEIJING, Radio Bharata Online - Menteri luar negeri Jepang berharap kunjungan pertamanya ke Tiongkok dalam waktu sekitar tiga tahun, yang menurut pengamat Tiongkok akan menjadi pertanda baik, untuk mengelola perbedaan pada topik-topik utama dan sensitif, termasuk masalah Kepulauan Diaoyu dan masalah Taiwan.

Tetapi mengingat provokasi Jepang baru-baru ini, termasuk menyebut Tiongkok  sebagai “tantangan” dalam strategi pertahanannya, mereka tetap berhati-hati atas prospek hubungan bilateral kedua negara.

Pada hari Rabu (14/12), outlet media Jepang NHK, mengetahui bahwa rencana sedang dibuat untuk perjalanan Menteri Luar Negeri Yoshimasa Hayashi ke Beijing akhir bulan ini, untuk bertemu dengan Penasihat Negara dan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi.

Nikkei melaporkan, perkembangan itu terjadi, setelah koalisi yang berkuasa di Jepang pada hari Senin, menyepakati pembaruan Strategi Keamanan Nasional yang menyebut Tiongkok sebagai "tantangan strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya," meletakkan dasar untuk memperkuat kemampuan pertahanan negara.

Da Zhigang, direktur Akademi Ilmu Sosial - Institut Studi Asia di Provinsi Heilongjiang, kamis lalu kepada Global Times mengatakan, berdasarkan strategi pertahanan agresif yang akan disetujui, kunjungan Hayashi ke Beijing kemungkinan dimaksudkan untuk meredakan protes keberatan Tiongkok.

Namun, apa yang disebut Hayashi pro-Tiongkok, pasti akan menuai kritik dari oposisi dan Partai Demokrat Liberal yang berkuasa di Jepang, karena mereka menganggap kemungkinan kunjungan itu sebagai "isyarat konsesi" ke Tiongkok. Da Zhigang meyakini, rilis berita NHK tersebut, juga bertujuan untuk menguji reaksi kekuatan konservatif di Jepang.

Selama kemungkinan pertemuan, Hayashi diharapkan menyampaikan kepada Wang, bahwa Jepang ingin melanjutkan dialog dengan Tiongkok, dan membangun hubungan yang konstruktif dan stabil melalui upaya kedua belah pihak.

Para menteri luar negeri juga diharapkan untuk bertukar pandangan tentang revitalisasi pertukaran sektor swasta, yang telah menurun secara signifikan akibat pandemi. (Global Times)