Jumat, 8 Agustus 2025 14:27:57 WIB

Para Ahli: Film Epik Perang Tiongkok 'Dead to Rights' Menuntut Akurasi Sejarah dalam Menggambarkan Perang Dunia II
Sosial Budaya

Eko Satrio Wibowo

banner

Zhang Guosong, Pustakawan Peneliti di Balai Peringatan Korban Pembantaian Nanjing oleh Penjajah Jepang (CMG)

Beijing, Radio Bharata Online - Menurut para ahli, film epik perang Tiongkok "Dead to Rights", melalui penggambarannya yang gamblang tentang Pembantaian Nanjing, berupaya menghadapi sejarah dengan akurat dan mendorong refleksi luas tentang salah satu babak tergelap Perang Dunia II.

Sebagai bagian dari peringatan 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok Melawan Agresi Jepang dan Perang Anti-Fasis Dunia, film ini mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh penjajah Jepang selama Pembantaian Nanjing melalui kisah sebuah studio foto berlatar tahun 1937.

Film perang ini mempertahankan dominasinya di box office musim panas Tiongkok, meraup lebih dari 1,8 miliar yuan (sekitar 4,1 triliun rupiah) hingga Rabu (6/8), sejak dirilis pada 25 Juli 2025.

Film ini berpusat pada sekelompok penyintas yang mencari perlindungan di sebuah studio foto. Sambil mencetak rol film untuk tentara Jepang, warga sipil mengungkap gambar-gambar grafis kekejaman masa perang dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk melestarikan bukti-bukti tersebut.

Dikenal karena bobot emosionalnya dan penggambaran trauma nasional yang gamblang, "Dead to Rights" telah menyentuh hati penonton.

Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok Melawan Agresi Jepang berlangsung dari tahun 1931 hingga 1945. Perang ini merupakan perang pertama yang meletus dan merupakan kampanye terlama dalam Perang Anti-Fasis Dunia. Perang ini mengakibatkan lebih dari 35 juta korban jiwa dari pihak militer dan sipil Tiongkok.

Setelah 14 tahun perlawanan yang gigih dan melelahkan, rakyat Tiongkok meraih kemenangan besar dalam perang melawan agresi Jepang, yang juga menandai kemenangan mutlak perang global melawan fasisme.

Penonton percaya bahwa film ini mengingatkan orang-orang untuk mengingat sejarah dan menghargai perdamaian.

"Setiap foto lama dalam film ini merupakan bukti sejarah, yang menyadarkan saya bahwa kehidupan damai yang kita nikmati saat ini diraih melalui penderitaan dan pengorbanan para martir yang tak terhitung jumlahnya. Hal ini mendorong kita, para remaja, untuk mengingat sejarah, memperjuangkan kemajuan, dan mencegah terulangnya kekejaman semacam itu," ujar Wang Yinuo setelah menonton film tersebut.

Fu Ruoqing, produser film ini, percaya bahwa menegakkan perspektif sejarah yang benar tentang Perang Dunia II bukan hanya penghormatan bagi para korban, tetapi juga tanggung jawab terhadap masa depan.

"Kami ingin mengingatkan orang-orang untuk mengingat penghinaan yang pernah kita alami, sekaligus mengobarkan kembali semangat pantang menyerah yang mendorong kebangkitan Tiongkok. Kontras antara Nanjing saat ini dan gambar-gambar dari 80 tahun yang lalu, yang diambil dari posisi yang sama, menunjukkan kemajuan luar biasa yang dicapai bangsa kita di era baru," kata Fu, yang juga merupakan Ketua China Film Group Corporation.

Film ini akan tayang perdana di bioskop-bioskop di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, dan Singapura mulai Kamis (7/8). Rilisan tambahan di Rusia, Korea Selatan, Inggris, Jerman, Prancis, dan negara-negara lainnya akan segera menyusul.

Para sineas Tiongkok berharap film ini akan menyampaikan kepada dunia komitmen rakyat Tiongkok terhadap tanggung jawab sejarah dan dedikasi mereka terhadap perdamaian. Mereka juga bertujuan untuk mendorong konsensus global dalam menjaga kebenaran sejarah.

"Perspektif sejarah yang benar tentang Perang Dunia II telah divalidasi melalui delapan dekade refleksi pascaperang. Ini adalah sistem untuk memahami sejarah yang menjaga kebenaran sejarah, menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan, serta mendorong pembangunan yang damai. Ini adalah perspektif yang berlandaskan sejarah, akurat, dan adil untuk memahami Perang Dunia II. Untuk menegakkan perspektif sejarah yang benar tentang Perang Dunia II, kita harus menghormati fakta objektif, menentang nihilisme dan revisionisme sejarah, menolak segala tindakan yang mendistorsi, mengubah, atau mengagungkan sejarah agresi, membela sistem internasional yang berpusat pada PBB, mengenang sejarah, menghormati para pahlawan yang gugur, menghargai perdamaian, dan menciptakan masa depan yang lebih cerah," jelas Zhang Guosong, Pustakawan Peneliti di Balai Peringatan Korban Pembantaian Nanjing oleh Penjajah Jepang.

Komentar

Berita Lainnya

Dengan sejarah lebih dari 2 Sosial Budaya

Rabu, 5 Oktober 2022 20:44:15 WIB

banner
roduksi kapas di Xinjiang mencapai 5 Sosial Budaya

Rabu, 12 Oktober 2022 22:32:41 WIB

banner
Alunan biola Sosial Budaya

Selasa, 18 Oktober 2022 22:53:38 WIB

banner
Meliputi area seluas 180 Sosial Budaya

Rabu, 19 Oktober 2022 10:28:48 WIB

banner
Dalam edisi keempatnya Sosial Budaya

Senin, 24 Oktober 2022 18:0:34 WIB

banner