Bharata Online - Ketika dua pesawat militer Amerika Serikat—helikopter MH-60R Seahawk dan jet tempur F/A-18F Super Hornet—jatuh hampir bersamaan di Laut China Selatan pada 26 Oktober 2025, dunia seakan menyaksikan simbol paradoks kekuatan militer modern. Meski tidak ada korban jiwa, kejadian ini bukan sekadar kecelakaan teknis atau kesalahan operasional. Ia mengguncang kepercayaan pada kemampuan proyeksi kekuatan maritim Amerika Serikat, sekaligus memperkuat posisi Tiongkok sebagai kekuatan yang lebih rasional, terukur, dan stabil dalam mengelola kawasan paling sensitif di Asia. Insiden ini menggambarkan pergeseran keseimbangan strategis antara dua peradaban besar dunia—Amerika yang masih terjebak dalam logika hegemonik, dan Tiongkok yang justru memantapkan dirinya sebagai pengelola perdamaian yang pragmatis dan visioner.

Secara geopolitik, Laut China Selatan bukan sekadar bentangan air asin seluas 3,5 juta kilometer persegi, tetapi juga panggung simbolik pertarungan dua paradigma kekuasaan: paradigma dominasi versus paradigma harmoni. Amerika Serikat, dengan doktrin kebebasan navigasi dan retorika demokrasi global, terus menempatkan armadanya di kawasan itu untuk menegaskan “hak” berlayar bebas di wilayah internasional. Namun, di balik narasi tersebut tersimpan dimensi kekuatan keras (hard power) yang nyata: kehadiran kapal induk, pesawat tempur, dan patroli militer yang bertujuan mempertahankan citra unipolaritas Amerika di tengah realitas dunia yang semakin multipolar. Sebaliknya, Tiongkok memandang kawasan ini sebagai ruang keseimbangan alami yang harus dijaga bersama, bukan ladang provokasi atau demonstrasi militer. Ketika juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun, menegaskan bahwa latihan militer Amerika justru memicu ketidakstabilan, ia sedang menyampaikan pesan moral dan strategis bahwa kekuatan sejati tidak diukur dari jumlah kapal induk, melainkan dari kemampuan menjaga keteraturan dan keamanan regional.

Dari perspektif teori hubungan internasional, insiden ini dapat dibaca melalui tiga lensa besar. Pertama, realisme klasik menempatkan kekuatan militer sebagai penentu utama dalam sistem internasional. Namun, jika kita menelaahnya lebih jauh, kejadian ini justru menunjukkan batas-batas dari realisme itu sendiri. Dominasi militer tidak otomatis menjamin efisiensi, apalagi stabilitas. Dua pesawat jatuh dalam selang waktu 30 menit dari kapal induk yang sama, USS Nimitz, memperlihatkan bahwa bahkan kekuatan terbesar di dunia tidak kebal terhadap kesalahan teknis, kelelahan sistem, dan risiko operasional. Dalam logika realistis yang murni, Amerika berusaha mempertahankan status quo dengan cara menekan negara lain melalui kekuatan militer. Namun kenyataannya, tekanan itu semakin memperlemah posisinya, karena biaya besar yang harus dikeluarkan—baik finansial maupun politis—tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Satu unit jet tempur Super Hornet bernilai lebih dari 60 juta dolar AS, dan kehilangan dua unit berarti kehilangan simbol kekuasaan dan efisiensi sekaligus.

Kedua, dari lensa liberalisme institusional, kejadian ini membuka peluang kerja sama kemanusiaan dan diplomasi teknis. Respons Tiongkok yang menawarkan bantuan kemanusiaan kepada Amerika jika diperlukan, mencerminkan pola pikir baru dalam hubungan internasional Asia Timur—yakni keseimbangan antara kemandirian nasional dan tanggung jawab global. Tawaran itu bukan basa-basi diplomatik, melainkan simbol kedewasaan politik Tiongkok dalam menghadapi musuh lamanya dengan cara beradab. Ia menandakan bahwa Beijing tidak terjebak dalam mentalitas balas dendam atau konfrontasi, melainkan berusaha mengubah setiap insiden menjadi momentum untuk menegaskan citra dirinya sebagai kekuatan rasional dan konstruktif. Ini sejalan dengan teori kompleks interdependence yang dikemukakan Robert Keohane dan Joseph Nye, di mana dunia modern semakin saling terkait sehingga keamanan tidak bisa dicapai melalui dominasi unilateral, melainkan melalui mekanisme kerja sama lintas batas. Tiongkok memahami hal itu lebih dalam daripada siapa pun.

Ketiga, melalui perspektif konstruktivisme, insiden ini mengandung makna simbolik yang lebih luas: pembentukan identitas, persepsi, dan narasi. Dalam konstruktivisme, kekuatan bukan hanya soal senjata, tetapi juga makna yang dilekatkan pada tindakan. Amerika memaknai kehadirannya sebagai upaya menjaga kebebasan navigasi, sementara Tiongkok menafsirkannya sebagai bentuk provokasi yang menegaskan sikap hegemonik Barat terhadap Asia. Perbedaan persepsi ini menghasilkan konflik naratif yang panjang: siapa yang sebenarnya berhak atas stabilitas kawasan? Dalam konteks ini, Tiongkok menunjukkan kecerdasan kultural dengan mengubah narasi konflik menjadi narasi tanggung jawab bersama. Ketika Guo Jiakun menyebut Laut China Selatan sebagai “rumah bersama” bagi China dan ASEAN, ia sedang mengusung paradigma regionalisme Asia yang inklusif—sebuah konsep yang jauh lebih maju dibandingkan paradigma zero-sum ala Amerika.

Bila kita kaitkan dengan sejarah, strategi Amerika di Laut China Selatan merupakan kelanjutan dari doktrin Monroe dan manifest destiny dalam versi modern. Mereka menganggap diri sebagai penjaga moralitas global yang berhak hadir di setiap sudut dunia. Namun, di abad ke-21, pendekatan itu menjadi anakronistik. Dunia telah berubah menjadi multipolar, dengan kekuatan baru seperti Tiongkok, Rusia, India, dan bahkan kekuatan regional ASEAN yang semakin berdaulat dalam menentukan arah kebijakan mereka. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran militer AS justru sering dianggap sebagai ancaman, bukan perlindungan. Tiongkok, dengan segala langkah pembangunan infrastrukturnya di pulau-pulau buatan, berhasil menanamkan realitas baru di lapangan—realitas yang sulit dibantah, karena didukung oleh kehadiran ekonomi, diplomatik, dan teknologi yang berkelanjutan. Sementara Amerika hanya memiliki kapal perang dan pernyataan keras, Tiongkok punya jalur ekonomi, jaringan komunikasi, dan basis sipil yang hidup di kawasan itu.

Insiden jatuhnya dua pesawat ini juga menunjukkan pergeseran paradigma keamanan. Jika dulu kekuatan militer adalah simbol supremasi, kini justru menjadi simbol risiko tinggi dan biaya tak terkendali. Dengan meningkatnya kompleksitas teknologi, satu kesalahan kecil dapat memicu kerugian besar. Amerika kini menanggung beban finansial yang luar biasa untuk mempertahankan armada tuanya, termasuk USS Nimitz yang dijadwalkan pensiun tahun depan. Ini menandakan transisi era: kekuatan maritim yang dulu menjadi jantung dominasi global Amerika kini sedang menua, sementara Tiongkok membangun kekuatan baru berbasis teknologi drone, sistem pertahanan anti-kapal induk, dan jaringan pengawasan laut berbasis AI. Dengan kata lain, Tiongkok tidak lagi bermain di arena yang sama, tetapi telah menciptakan medan permainan baru di mana efisiensi, inovasi, dan legitimasi politik menjadi faktor penentu.

Menarik pula jika kita lihat konteks politiknya. Kejadian ini terjadi saat Presiden Donald Trump sedang dalam lawatan ke Asia untuk bertemu Xi Jinping membahas perdagangan dan geopolitik. Secara simbolik, kecelakaan dua pesawat tempur ini mengguncang posisi tawar Amerika menjelang pertemuan tersebut. Ia memperlihatkan bahwa di tengah ambisi diplomatik, kekuatan militer Amerika tidak lagi sekuat retorikanya. Sebaliknya, Tiongkok tampil lebih tenang, tidak reaktif, dan mengedepankan pendekatan diplomasi ekonomi serta keamanan kolektif. Di saat Amerika sibuk memproyeksikan kekuatan melalui kapal induk, Beijing memproyeksikan pengaruhnya melalui infrastruktur, perdagangan, dan kebijakan damai. Inilah bentuk soft power yang kini lebih efektif dalam membentuk tatanan dunia baru.

Sikap Tiongkok terhadap Filipina juga menggambarkan kecerdasan diplomatik yang khas Asia. Ketika Presiden Ferdinand Marcos Jr menyalahkan China atas berbagai insiden di Laut Filipina Barat, Guo Jiakun merespons dengan narasi yang menenangkan, bukan konfrontatif. Ia menegaskan bahwa tindakan provokatif Filipina adalah akar masalah, namun tetap menekankan pentingnya menjaga perdamaian bersama. Di sini, Tiongkok tidak sekadar membela diri, tetapi juga memosisikan diri sebagai penjaga harmoni kawasan. Ini adalah bentuk kekuatan lunak yang tidak dimiliki Amerika: kemampuan untuk mengendalikan narasi sambil mempertahankan posisi strategis di lapangan.

Dari perspektif ekonomi-politik global, pergeseran ini juga menggambarkan kegagalan Barat dalam mempertahankan keunggulan industrinya. Amerika, dengan biaya militer mencapai lebih dari 800 miliar dolar AS per tahun, kini terjebak dalam perang biaya (cost war) yang tidak berujung. Setiap kecelakaan seperti ini adalah kerugian miliaran dolar tanpa keuntungan strategis yang berarti. Sebaliknya, Tiongkok berhasil menyeimbangkan belanja militernya dengan pembangunan ekonomi domestik, riset teknologi, dan investasi luar negeri yang menciptakan efek ganda. Strategi ini membuat Beijing tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga berkelanjutan secara ekonomi. Di mata dunia, ini bukan lagi soal siapa yang punya senjata lebih banyak, melainkan siapa yang mampu menjaga stabilitas tanpa menimbulkan ketakutan.

Insiden ini menjadi pelajaran bagi seluruh dunia bahwa kekuasaan tanpa kendali moral dan efisiensi strategis akan runtuh oleh beban yang diciptakannya sendiri. Amerika, dengan armadanya yang megah namun rapuh, kini berhadapan dengan realitas baru: dunia tidak lagi tunduk pada kekuatan militer, tetapi pada rasionalitas dan kredibilitas moral. Dalam konteks ini, Tiongkok tampil lebih meyakinkan. Ia tidak perlu menembakkan satu peluru pun untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah kekuatan sejati di Asia—cukup dengan kesabaran diplomasi, konsistensi pembangunan, dan kemampuan mengelola krisis dengan kepala dingin.

Pada akhirnya, dua pesawat yang jatuh di Laut China Selatan adalah metafora tentang jatuhnya paradigma lama: paradigma kekuasaan hegemonik yang kini tak lagi relevan dalam tatanan dunia baru yang multipolar dan saling bergantung. Tiongkok, dengan filosofi harmoni dan stabilitas, tengah memimpin perubahan ini—menggantikan logika dominasi dengan logika keseimbangan. Sementara Amerika masih sibuk mempertahankan bayangan kejayaannya di masa lalu, Beijing telah melangkah ke masa depan, di mana kekuatan sejati bukan lagi ditentukan oleh siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling mampu menjaga perdamaian. Dalam momen inilah, dunia melihat dengan jelas bahwa Laut China Selatan bukan lagi simbol ketegangan, melainkan panggung di mana kebijaksanaan Timur perlahan menggantikan keangkuhan Barat.