Sabtu, 2 Agustus 2025 23:38:13 WIB

Membangun Kekuatan Kelas Dunia: PLA dan Arah Baru Strategi Global Tiongkok
Tiongkok

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi

Dalam rangka peringatan hari jadi ke-98 berdirinya Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA), Pemerintah Tiongkok kembali menegaskan arah strategisnya untuk membangun kekuatan militer kelas dunia. Melalui rangkaian latihan gabungan berskala besar, pernyataan para komandan militer, dan eksibisi kekuatan teknologi militer yang terus berkembang, PLA menampilkan citra baru sebagai militer modern yang siap tempur dalam segala domain baik dari udara, laut, darat, hingga luar angkasa dan siber.

Perkembangan ini tidak dapat dipahami secara parsial atau teknis semata, tetapi perlu dianalisis secara menyeluruh melalui beragam pendekatan teori dan paradigma hubungan internasional. Pendekatan-pendekatan tersebut mampu menjelaskan motivasi, implikasi, serta dinamika yang melingkupi modernisasi militer Tiongkok dalam konteks global yang semakin kompetitif.

Dari perspektif realisme klasik, pembangunan kekuatan militer yang masif seperti yang dilakukan oleh Tiongkok merupakan respons rasional dalam sistem internasional yang bersifat anarkis. Negara, sebagai aktor utama dalam sistem tersebut, berupaya memaksimalkan kapabilitas militernya guna menjamin kelangsungan hidup, memperkuat posisi tawar, dan membentuk struktur kekuatan yang lebih menguntungkan.

Kehadiran dua kapal induk aktif seperti Liaoning dan Shandong yang digunakan dalam latihan besar-besaran di Laut Kuning, Laut Tiongkok Timur, Laut Tiongkok Selatan, hingga Pasifik Barat merupakan sinyal jelas bahwa PLA sedang bertransformasi dari kekuatan defensif ke proyeksi kekuatan ofensif dengan jangkauan regional dan global.

Hal ini menunjukkan upaya Tiongkok untuk menyeimbangkan, bahkan menantang dominasi militer Amerika Serikat (AS) di kawasan Indo-Pasifik. Strategi Anti-Access/Area Denial (A2/AD) yang telah dikembangkan PLA juga menegaskan bahwa Tiongkok tidak hanya ingin mempertahankan wilayahnya, tetapi juga mencegah campur tangan pihak luar dalam konflik potensial, khususnya terkait Taiwan dan sengketa di Laut Tiongkok Selatan.

Namun, pendekatan liberalisme mengingatkan bahwa peningkatan kekuatan militer yang drastis, apalagi tanpa transparansi, dapat memicu dilema keamanan di antara negara-negara kawasan. Ketika satu negara meningkatkan kapabilitas militernya atas nama pertahanan, negara lain bisa menafsirkan hal tersebut sebagai ancaman, sehingga memicu perlombaan senjata dan ketegangan strategis.

Saat ini, respons dari negara-negara tetangga Tiongkok mulai terlihat. Jepang telah mengadopsi kebijakan keamanan nasional baru yang lebih proaktif, Filipina memperdalam kerja sama militernya dengan AS dan Australia, sementara India meningkatkan pengawasan di wilayah perbatasannya. Situasi ini menunjukkan bahwa modernisasi PLA, meski berangkat dari narasi defensif dan nasionalisme, berdampak luas terhadap stabilitas kawasan. Tanpa mekanisme kepercayaan dan dialog strategis yang kuat, modernisasi militer Tiongkok berpotensi menjadi sumber ketegangan baru di Asia Timur.

Sementara itu, pendekatan konstruktivis memberikan penjelasan yang lebih mendalam terkait motivasi ideologis dan simbolis di balik kebijakan militer Tiongkok. Bagi para pemimpin Tiongkok, termasuk Presiden Xi Jinping, kekuatan militer bukan hanya alat kebijakan luar negeri, melainkan juga elemen vital dalam membentuk identitas nasional dan mewujudkan “impian kebangkitan bangsa Tiongkok.” Pernyataan Xi yang menekankan pentingnya pelatihan sistemik dan terpadu di seluruh cabang militer merupakan bagian dari upaya membangun militer profesional yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga loyal secara ideologis.

Modernisasi militer juga memainkan peran penting dalam menjaga legitimasi Partai Komunis Tiongkok (PKT), terutama dalam menghadapi tantangan internal seperti ketimpangan sosial, stagnasi ekonomi, atau krisis demografi. PLA tidak lagi hanya sekadar institusi pertahanan, tetapi juga instrumen simbolik untuk menunjukkan bahwa Tiongkok telah bangkit dan tidak lagi tunduk pada kekuatan asing seperti yang terjadi pada “abad penghinaan.”

Tak kalah penting adalah dimensi geoekonomi dan teknologi yang melekat dalam strategi militer Tiongkok. Modernisasi PLA tidak terlepas dari kemajuan teknologi domestik yang dipercepat oleh strategi nasional seperti Made in China 2025 dan dual circulation. Tiongkok kini mampu memproduksi sendiri kapal induk, kapal selam nuklir, pesawat tempur generasi terbaru, hingga sistem rudal hipersonik yang sulit dideteksi sistem pertahanan konvensional.

Kemampuan ini tidak hanya meningkatkan kemandirian industri pertahanan Tiongkok, tetapi juga memberi Beijing keunggulan dalam perlombaan teknologi militer global. Dalam jangka panjang, keberhasilan mengintegrasikan kecerdasan buatan, pengintaian satelit, dan sistem komando digital akan memungkinkan PLA menjadi kekuatan yang tidak hanya besar secara kuantitatif, tetapi juga unggul secara kualitatif.

Namun demikian, semua perkembangan ini membawa implikasi serius bagi tatanan keamanan regional dan global. Kebangkitan militer Tiongkok yang disertai dengan klaim-klaim teritorial agresif dan posisi diplomatik yang semakin tegas dapat merusak keseimbangan strategis yang selama ini dijaga oleh aliansi pertahanan yang dipimpin AS.

Kawasan Indo-Pasifik saat ini tengah berada dalam transisi strategis, dan tidak ada jaminan bahwa pergeseran kekuatan ini akan berlangsung secara damai. Jika tidak diimbangi dengan inisiatif diplomatik yang inklusif dan mekanisme pencegahan konflik yang efektif, dunia bisa saja menghadapi era baru rivalitas besar (great power competition) yang tidak kalah berbahaya dibandingkan Perang Dingin.

Dengan demikian, pertanyaan utama bukan hanya apakah Tiongkok akan menjadi kekuatan militer kelas dunia? Karena arah itu tampaknya sudah tak terelakkan lagi, melainkan bagaimana komunitas internasional akan merespons kebangkitan ini? Apakah akan tercipta tatanan baru yang lebih multipolar dan stabil, atau justru dunia akan terperosok ke dalam spiral konfrontasi strategis? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan semua pihak termasuk Tiongkok sendiri untuk mengelola konflik, membangun kepercayaan, dan merumuskan ulang norma-norma interaksi strategis di abad ke-21.

Komentar

Berita Lainnya

Petani di wilayah Changfeng Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 14:51:7 WIB

banner
Pembalap Formula 1 asal Tiongkok Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 15:19:35 WIB

banner