Selasa, 10 Juni 2025 23:45:30 WIB

Belt and Road Initiative: Membedah Realitas di Balik Narasi Jebakan Utang
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi

Dalam era globalisasi ekonomi saat ini, utang negara telah menjadi instrumen yang lazim digunakan oleh negara-negara berkembang untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Namun demikian, lonjakan utang kepada Tingkok melalui skema Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) telah memicu diskursus global tentang kemungkinan terjadinya krisis utang baru.

Terdapat pandangan yang menyebut bahwa negara-negara penerima dana BRI berisiko terjebak dalam “jebakan utang” atau debt trap diplomacy, yang pada akhirnya mengarah pada hilangnya kedaulatan atas aset strategis mereka. Namun, pendekatan yang terlalu simplistis semacam ini perlu diuji secara kritis melalui perspektif multidisipliner, baik dari aspek ekonomi, hukum internasional, geopolitik, maupun paradigma pembangunan berkelanjutan.

Secara ekonomi, BRI menawarkan potensi besar untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang selama ini menjadi hambatan utama dalam integrasi pasar dan peningkatan produktivitas di negara-negara berkembang. Teori investasi publik yang menginduksi pertumbuhan menyatakan bahwa belanja modal pemerintah, meskipun dibiayai dari pinjaman luar negeri, dapat mendorong pertumbuhan apabila diarahkan pada sektor yang memiliki dampak pengganda tinggi.

Dalam banyak kasus, proyek BRI seperti pelabuhan, jalur kereta api, dan koridor logistik dirancang untuk memenuhi tujuan tersebut. Sebagai contoh, Ethiopia mengalami peningkatan volume ekspor melalui pelabuhan Djibouti setelah pembangunan jalur kereta api Addis Ababa-Djibouti yang didanai oleh Tiongkok.

Namun, dalam kasus lain seperti Sri Lanka dan Laos, proyek-proyek infrastruktur tersebut tidak menghasilkan cukup pendapatan untuk membayar kembali utang, sehingga menimbulkan beban fiskal dan pada akhirnya menimbulkan ketergantungan finansial. Kondisi ini konsisten dengan teori debt overhang, di mana akumulasi utang menghambat investasi baru dan memperlambat pertumbuhan.

Sementara itu, dari sudut pandang geopolitik, proyek BRI sering ditafsirkan sebagai bentuk baru dari ekspansi pengaruh Tiongkok di negara-negara Global South. Tuduhan debt trap diplomacy seperti yang dikemukakan oleh Chellaney, merujuk pada strategi di mana Tiongkok diduga sengaja memberikan pinjaman besar dengan tujuan akhir untuk menguasai aset strategis apabila negara peminjam gagal membayar.

Namun, analisis ini tidak sepenuhnya berdasar pada bukti empiris yang konsisten. Dalam kasus pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, misalnya, sebuah studi dari Atlantic Council menunjukkan bahwa penyerahan pelabuhan bukanlah hasil dari klausul pinjaman yang eksploitatif, melainkan keputusan pemerintah Sri Lanka untuk menjual 70% saham pelabuhan guna memperoleh dana segar menghadapi krisis neraca pembayaran.

Selain itu, Tingkok juga telah menunjukkan fleksibilitas dalam merespons gagal bayar, dengan merestrukturisasi pinjaman atau menghapus sebagian utang di Afrika dan Asia Tengah, sebagaimana tercatat dalam laporan AidData. Oleh karena itu, narasi geopolitik semata perlu diimbangi dengan pemahaman akan dinamika internal dan keterbatasan kapasitas fiskal negara-negara penerima.

Dari sisi hukum internasional, keberadaan perjanjian pinjaman bilateral antara Tingkok dan negara-negara BRI menimbulkan persoalan mengenai transparansi dan prinsip kedaulatan negara. Banyak perjanjian tidak tersedia untuk publik dan mengandung klausul yang memungkinkan pengalihan kepemilikan aset strategis jika terjadi wanprestasi.

Hal ini memicu kekhawatiran atas pelanggaran prinsip kedaulatan dan non-intervensi, terutama ketika aset vital seperti pelabuhan, bandara, atau jaringan kereta api diserahkan sebagai bagian dari pembayaran. Di sisi lain, prinsip pacta sunt servanda dalam hukum internasional tetap mewajibkan negara peminjam untuk memenuhi kewajiban kontraktual yang telah disepakati, selama perjanjian tersebut tidak melanggar hukum nasional atau prinsip dasar hukum internasional. Kelemahan justru terletak pada minimnya kapasitas hukum dan negosiasi negara peminjam yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak selalu menguntungkan kedua belah pihak secara seimbang.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek BRI semestinya sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam hal infrastruktur berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Namun, pelaksanaan proyek BRI di sejumlah negara menunjukkan adanya tantangan dalam penerapan prinsip keberlanjutan.

Di Kenya, misalnya, proyek kereta api Mombasa–Nairobi yang bernilai miliaran dolar gagal memberikan dampak signifikan terhadap integrasi pasar domestik dan penggunaan tenaga kerja lokal. Demikian pula di Indonesia, proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), meskipun menjadi simbol kemajuan teknologi, menghadapi masalah biaya yang membengkak dan risiko finansial jangka panjang akibat struktur pendanaannya yang kompleks. Namun, tidak semua proyek BRI berakhir dengan kegagalan. Di Bangladesh, pembangkit listrik dan jembatan yang didanai Tiongkok telah berkontribusi nyata pada peningkatan kapasitas energi nasional dan konektivitas antarwilayah.

Fenomena pergeseran sikap politik terhadap BRI juga tampak dari keputusan Italia, satu-satunya negara Kelompok 7 (G7) yang pernah bergabung dalam inisiatif tersebut tahun 2019. Namun, Italia akhirnya menarik diri pada akhir tahun 2023. Alasannya mencakup meningkatnya defisit perdagangan dengan Tiongkok dan minimnya keuntungan ekonomi langsung dari proyek-proyek BRI.

Sikap ini merefleksikan meningkatnya kehati-hatian negara-negara Eropa terhadap potensi ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. Meskipun demikian, negara-negara Eropa Timur dan Selatan seperti Hungaria, Yunani, dan Portugal masih mempertahankan kerja sama dengan Tiongkok, walaupun dalam skala yang lebih hati-hati dan selektif.

Di belahan dunia selatan, banyak negara masih memandang BRI sebagai satu-satunya sumber pendanaan alternatif selain Dana Moneter Internasional (MF) dan Bank Dunia, yang dalam dua dekade terakhir mengurangi pinjaman untuk proyek infrastruktur besar akibat pengetatan kebijakan fiskal dan persyaratan teknis yang ketat.

Makanya berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa BRI bukan sekadar instrumen ekspansi geopolitik Tingkok, melainkan juga refleksi dari ketimpangan global dalam pembiayaan pembangunan. Risiko gagal bayar utang memang nyata, tetapi bukan semata akibat niat hegemonik dari negara pemberi pinjaman.

Faaktor-faktor domestik seperti lemahnya kapasitas fiskal, rendahnya transparansi proyek, dan buruknya tata kelola menjadi elemen krusial yang memperbesar risiko tersebut. Oleh karena itu, solusi terhadap potensi krisis utang tidak terletak pada penolakan terhadap inisiatif semacam BRI, melainkan pada penguatan institusi nasional, peningkatan kapasitas negosiasi, serta pengawasan publik terhadap proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri.

Dengan demikian, narasi yang menyederhanakan BRI sebagai bentuk baru kolonialisme utang perlu dikaji ulang secara lebih objektif dan multidimensi. Dunia tidak memerlukan dikotomi antara pembangunan atau kedaulatan, melainkan mekanisme kerja sama yang adil, transparan, dan berbasis kepentingan nasional yang berkelanjutan. BRI dapat tetap menjadi bagian dari solusi pembangunan global, asalkan negara penerima memiliki daya tawar dan kesadaran strategis untuk mengelola pinjaman secara bijaksana.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 Dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner