Minggu, 18 Mei 2025 23:12:27 WIB

Hegemoni AS di Ujung Tanduk: CIA Akui Pengaruh Ekonomi dan Militer AS Melemah Sementara Tiongkok Malah Semakin Menguat
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi

Di tengah dinamika geopolitik global kontemporer, persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) telah menjadi salah satu isu strategis yang paling menonjol. Banyak pengamat hubungan internasional menilai bahwa persaingan ini berpotensi menjadi katalis bagi berakhirnya dominasi Barat yang telah mengakar selama lebih dari satu abad.

Kendati demikian, Pemerintah Tiongkok secara konsisten menolak anggapan bahwa mereka tengah berupaya menggantikan tatanan dunia yang dibentuk oleh Barat melalui pendekatan koersif atau kekerasan. Hal ini sebagaimana pernah ditegaskan oleh Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok, Qin Gang, dalam ajang internasional Lanting Forum yang digelar di Shanghai pada 2023 lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Qin menyatakan bahwa tudingan terhadap Tiongkok yang dianggap menggunakan tekanan militer dan ekonomi untuk menantang tatanan internasional merupakan pandangan yang tidak berdasar. Menurutnya, Tiongkok justru berkomitmen terhadap prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta menjunjung tinggi norma dan hukum internasional.

Meskipun Tiongkok terus memperlihatkan kekuatan militernya, khususnya di kawasan Selat Taiwan, langkah ini secara resmi dinyatakan sebagai bagian dari upaya mempertahankan integritas wilayahnya. Justru, Tiongkok menuding pihak lain dalam hal ini AS dan kelompok separatis Taiwan sebagai pihak yang memprovokasi instabilitas regional melalui pengerahan kekuatan militer.

Dalam kacamata teori realisme dalam studi hubungan internasional, kapabilitas militer (hard power) merupakan instrumen utama dalam menentukan posisi dan pengaruh suatu negara di kancah global. Dalam konteks ini, Tiongkok kini tampak lebih berani dalam menghadapi tekanan AS. Keberanian ini bukan tanpa dasar, mengingat berbagai laporan menunjukkan adanya indikasi penurunan kekuatan militer AS.

Salah satu bukti nyata datang dari laporan tahunan lembaga pemikir Amerika, The Heritage Foundation, dalam publikasi berjudul “Indeks Kekuatan Militer AS Tahun 2023.” Laporan tersebut mengungkapkan bahwa kapasitas militer AS saat ini hanya berada pada dua pertiga dari ukuran ideal.

Selain itu, sistem persenjataan yang digunakan cenderung usang dan tingkat kesiapan operasional dianggap bermasalah. Sebagai contoh, jumlah kapal tempur AS menurun drastis dari 600 unit pada era Perang Dingin menjadi kurang dari 300 unit saat ini. Sementara itu, rata-rata jam terbang tahunan pilot tempur AS turun yang tadinya lebih dari 300 jam menjadi kurang dari 120 jam.

Masalah ini menjadi semakin kompleks mengingat pada era Perang Dingin, ancaman utama AS hanya datang dari Uni Soviet. Namun, saat ini AS harus menghadapi potensi konflik dengan empat negara sekaligus seperti Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Iran. Artinya, jika skenario konflik multipolar terjadi, dominasi militer AS sangat mungkin tidak lagi mampu bertahan.

Lebih lanjut, data dari Global Firepower Index menunjukkan bahwa dalam beberapa aspek kekuatan militer, posisi AS mulai tergeser. Misalnya, dalam jumlah armada laut, Tiongkok menduduki peringkat pertama, disusul oleh Rusia dan Korea Utara, dengan AS berada di posisi keempat. Dalam hal potensi jumlah personel militer, Tiongkok memiliki keunggulan mutlak dengan sekitar 762 juta individu yang dapat dimobilisasi, dibandingkan dengan hanya 148 juta di AS.

Meski teknologi militer AS masih unggul secara kualitatif, dominasi tersebut mulai terancam akibat keterbatasan pendanaan dan hambatan politik domestik. Beberapa program pengembangan militer strategis masih berada dalam tahap riset dan belum terimplementasi secara penuh. Bahkan Mantan Direktur Badan Intelijen Pusat AS (CIA), William J. Burns, dalam pernyataannya menyebut bahwa pengaruh global AS telah mengalami pelemahan dalam beberapa sektor, termasuk ekonomi dan militer.

Dalam konteks ini, Tiongkok, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, tampaknya menyadari peluang tersebut dan terus memperkuat posisinya sebagai kekuatan global alternatif. Menariknya, Presiden Xi secara terbuka menyatakan bahwa Tiongkok tidak berniat untuk mengejar hegemoni global. Ia justru menyerukan pembentukan tata kelola global yang lebih adil dan setara.

Namun demikian, jika tekanan dari pihak AS terhadap Tiongkok terus meningkat, potensi konfrontasi terbuka tidak dapat dikesampingkan. Dengan melemahnya kekuatan militer AS, Tiongkok melihat peluang untuk menggeser dominasi Barat dan mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin tatanan dunia yang baru.

Pertanyaannya kini, apakah dunia yang dipimpin oleh Tiongkok akan mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang selama ini mereka kampanyekan? Ataukah dunia hanya akan beralih dari satu bentuk dominasi ke bentuk dominasi lainnya? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan arah masa depan hubungan internasional dalam beberapa dekade ke depan.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 Dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner