Kamis, 31 Juli 2025 23:47:53 WIB
Solusi Dua Negara Palestina-Israel: Tiongkok Tunjukkan Aksi Nyata sementara AS dan Barat Hanya Bisa Beretorika
International
OPINI/Muhammad Rizal Rumra

Ilustrasi
Dalam konstelasi global yang semakin multipolar, posisi Tiongkok sebagai kekuatan alternatif terhadap dominasi Barat kian terlihat nyata. Salah satu arena yang paling mencerminkan pergeseran ini adalah isu Palestina-Israel. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Penyelesaian Damai Konflik Palestina, yang diketuai bersama oleh Prancis dan Arab Saudi pada 28 Juli 2025 lalu. Zhai Jun, Utusan Khusus Pemerintah Tiongkok untuk Isu Timur Tengah, menyampaikan pandangan tegas mengenai perlunya implementasi solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan.
Zhai menekankan bahwa krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya sedang berlangsung di Gaza. Ia menyampaikan bahwa fondasi dari solusi dua negara terus mengalami pengikisan akibat tindakan sepihak, kekerasan sistematis, dan pengabaian terhadap norma-norma internasional. Dalam situasi yang mendesak seperti ini, menurut Tiongkok, komunitas internasional harus mengambil langkah konkret, bukan sekadar pernyataan retoris, untuk memastikan implementasi solusi dua negara. Beijing juga menyerukan dilakukannya gencatan senjata komprehensif di Gaza sebagai prasyarat mendesak untuk mengurangi penderitaan rakyat sipil dan menciptakan ruang yang kondusif bagi rekonstruksi politik dan sosial Palestina.
Dalam pernyataannya, Zhai Jun menegaskan kembali prinsip “rakyat Palestina memerintah Palestina” sebagai dasar penting untuk memajukan tata kelola yang sah di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Menurut Tiongkok, segala upaya yang mencoba mengubah status Gaza secara paksa atau melanggar batas wilayah Tepi Barat merupakan tindakan yang tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga merusak prospek solusi dua negara. Karena itu, Beijing menolak dengan tegas segala bentuk tindakan maupun pernyataan yang berupaya melemahkan legitimasi politik rakyat Palestina. Selain itu, Tiongkok mendorong penguatan kapasitas pemerintahan Palestina, dukungan terhadap persatuan faksi-faksi politik Palestina, dan peningkatan ketahanan ekonomi sebagai bagian integral dari proses menuju kemerdekaan yang berdaulat.
Di sisi lain, posisi Amerika Serikat (AS) dan sebagian besar negara-negara Barat menunjukkan kontras yang tajam. Meskipun dalam forum-forum internasional Washington dan sekutunya secara verbal masih menyuarakan dukungan terhadap solusi dua negara, dalam praktik kebijakan mereka tetap berpihak pada Israel secara sepihak. AS secara konsisten menggunakan hak veto untuk menggagalkan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata atau mengutuk tindakan kekerasan Israel terhadap warga sipil. Di saat yang sama, bantuan militer dan keuangan terus mengalir ke Tel Aviv, termasuk dalam fase-fase paling brutal dari kampanye militer di Gaza. Pendekatan ini mencerminkan strategi politik luar negeri yang berbasis pada realisme agresif untuk menjaga dominasi kawasan, mengamankan aliansi strategis, serta mengendalikan jalur logistik dan energi Timur Tengah dengan mengorbankan prinsip keadilan internasional.
Sikap ambivalen juga dapat dilihat dari negara-negara Eropa. Prancis, misalnya, mencoba mengambil peran sebagai mediator dengan menjadi tuan rumah bersama konferensi PBB tersebut bersama Arab Saudi. Namun, Eropa secara umum tetap enggan mengambil langkah-langkah konkret yang dapat memberikan tekanan nyata terhadap Israel, seperti sanksi ekonomi atau embargo senjata. Faktor domestik, tekanan kelompok lobi, serta ketergantungan ekonomi dan pertahanan terhadap AS membuat posisi negara-negara Barat tetap berada dalam spektrum simbolik ketimbang substansial. Alih-alih menjadi aktor independen dalam membangun perdamaian global, Barat justru semakin terlihat sebagai bagian dari permasalahan struktural konflik itu sendiri.
Dalam perspektif teori hubungan internasional, posisi Tiongkok dapat dikaji melalui pendekatan konstruktivisme. Tiongkok memanfaatkan identitasnya sebagai negara Global South yang menekankan kedaulatan, non-intervensi, dan keadilan global sebagai basis moral diplomasi luar negerinya. Pendekatan ini bertolak belakang dengan realisme ofensif yang mendasari kebijakan luar negeri AS, yang lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan dan hegemoni ketimbang norma universal. Dalam konteks ini, Tiongkok tidak hanya hadir sebagai penonton atau komentator krisis, tetapi sebagai aktor normatif yang aktif mengusulkan kerangka solusi alternatif berbasis keadilan historis dan konsensus global.
Krisis kemanusiaan yang berlangsung di Gaza, dan hancurnya infrastruktur sipil menggarisbawahi ketimpangan moral dan politik dalam sistem internasional saat ini. Solusi dua negara telah lama diakui sebagai resolusi yang sah oleh berbagai resolusi PBB, namun pelaksanaannya terus mengalami penundaan karena ketidakmauan politik negara-negara besar, khususnya AS. Dalam konteks ini, seruan Tiongkok agar komunitas internasional mengambil langkah konkret dengan jadwal dan peta jalan yang jelas merupakan sebuah koreksi terhadap kemunafikan sistem internasional yang terlalu lama mengabaikan hak-hak rakyat Palestina.
Posisi Tiongkok juga merepresentasikan perubahan mendasar dalam dinamika diplomasi global. Sejak keberhasilannya dalam memediasi rekonsiliasi antara Iran dan Arab Saudi pada tahun 2023, Tiongkok semakin dipandang sebagai kekuatan penyeimbang yang kredibel di Timur Tengah. Beijing menawarkan “visi keamanan bersama” yang tidak hanya didasarkan pada kepentingan militer atau ekonomi semata, tetapi juga pada stabilitas jangka panjang yang dicapai melalui pembangunan, kerjasama ekonomi, dan rekonsiliasi politik. Berbeda dengan model AS yang mempersenjatai kawasan dan menciptakan ketergantungan strategis, Tiongkok mendorong pembangunan institusional dan solidaritas regional sebagai instrumen utama perdamaian.
Dengan demikian, solusi dua negara bukan hanya persoalan diplomasi antara Palestina dan Israel, melainkan medan uji bagi integritas tatanan internasional itu sendiri. Tiongkok menunjukkan bahwa kekuatan besar tidak selalu harus menjadi pemicu konflik, melainkan bisa berfungsi sebagai agen perdamaian yang bertanggung jawab. Komitmen Beijing untuk terus bekerja sama dengan komunitas internasional dalam rangka mendorong gencatan senjata dan penyelesaian konflik Palestina secara adil dan berkelanjutan merupakan langkah yang patut dicermati dan didukung.
Jika dunia sungguh ingin melihat perdamaian yang nyata dan bermartabat di Timur Tengah, maka perlu ada keberanian untuk mendengar suara yang selama ini dibungkam yakni suara rakyat Palestina, suara Global South, dan suara keadilan global. Tiongkok, melalui sikapnya yang konsisten dan konstruktif, setidaknya telah memberikan alternatif terhadap dominasi narasi Barat dalam isu ini sebagai sebuah langkah diplomatik yang tidak hanya strategis secara geopolitik, tetapi juga bermakna secara moral dan historis.
Komentar
Berita Lainnya
Peng Liyuan menyerukan upaya global untuk mendorong pendidikan bagi anak perempuan dan perempuan ke arah yang lebih adil lebih inklusif dan lebih berkualitas dan kontribusi untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan global dan membangun komunitas dengan masa depan bersama untuk manusia International
Rabu, 12 Oktober 2022 8:34:27 WIB

Presiden RI Joko Widodo memuji gaya kepemimpinan Presiden Tiongkok International
Senin, 17 Oktober 2022 13:29:21 WIB

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International
Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

Giorgia Meloni International
Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

Sebuah insiden kebakaran terjadi di Gunung Kilimanjaro di Tanzania International
Minggu, 23 Oktober 2022 15:24:53 WIB

Serangan udara oleh militer Myanmar menewaskan lebih dari 60 orang International
Selasa, 25 Oktober 2022 10:2:29 WIB
