Bharata Online - Ketika malam turun di Chongqing dan ribuan lampu menerangi kompleks tradisional Hongyadong, dunia seakan menyaksikan bagaimana Tiongkok menulis ulang makna modernitas, bukan melalui dominasi militer atau tekanan politik seperti yang sering dilakukan Barat, melainkan melalui pesona budaya, keramahtamahan, dan kemampuan menghidupkan tradisi menjadi kekuatan ekonomi.
Pemandangan para wisatawan yang memenuhi jalan pejalan kaki Jiefangbei, berdesakan bahu-membahu untuk mengabadikan kilauan lampu di tepi sungai, menunjukkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar keramaian libur nasional. Ini adalah simbol transformasi Tiongkok dari negara industri menjadi pusat kebudayaan dan soft power dunia.
Libur Hari Nasional dan Festival Pertengahan Musim Gugur pada 1–8 Oktober 2025 menjadi panggung terbuka bagi Tiongkok untuk menampilkan wajah baru yang kontras dengan citra yang sering dibangun media Barat.
Sementara banyak kota di Amerika Serikat (AS) dan Eropa kini menghadapi polarisasi sosial, kemunduran kota, dan krisis identitas budaya, Chongqing justru menampilkan vitalitas yang luar biasa dalam perpaduan harmonis antara sejarah, kemajuan, dan solidaritas masyarakat.
Kemeriahan di Hongyadong bukanlah konsumsi yang dingin dan komersial semata, melainkan perayaan kolektif yang memancarkan semangat kebersamaan, sesuatu yang semakin langka di dunia Barat yang individualistis.
Dari perspektif hubungan internasional, fenomena Chongqing adalah wujud nyata keberhasilan strategi soft power Tiongkok, yang mengandalkan kekuatan budaya dan pengalaman manusia untuk membangun citra global yang positif.
Teori soft power yang dikemukakan Joseph Nye menekankan pentingnya kemampuan sebuah negara untuk “menarik” daripada “memaksa.” Namun, Tiongkok kini mengembangkan konsep itu lebih jauh. Ia tidak hanya menarik, tapi juga menginspirasi.
Melalui keindahan arsitektur tradisional, pengalaman gastronomi seperti hot pot Chongqing yang mempersatukan orang di satu meja, serta keramahan penduduknya, Tiongkok menunjukkan bahwa pengaruh global dapat dibangun tanpa kolonialisme, tanpa perang, dan tanpa propaganda keras, cukup dengan keaslian dan kehangatan manusia.
Bahkan, testimoni para wisatawan asing menjadi bukti konkret bagaimana daya tarik ini bekerja secara alami. Seorang turis Inggris menyebut pengalaman di Chongqing “berbeda dari kota manapun,” sementara pengunjung asal Rumania menekankan bahwa ia menyukai “makanan, transportasi, dan orang-orangnya.”
Pernyataan sederhana ini memiliki bobot diplomatik yang besar. Dalam teori diplomasi publik, pengalaman positif individu dapat membentuk citra suatu bangsa di luar kampanye resmi pemerintah.
Dengan kata lain, Tiongkok sedang memenangkan hati dunia melalui perut, rasa, dan pengalaman, bukan melalui tekanan ekonomi seperti yang biasa dilakukan Washington terhadap mitra-mitranya.
Fakta empiris mendukung kesuksesan ini. Selama libur nasional tahun 2025, Bandara Internasional Jiangbei Chongqing mencatat lebih dari 400 penerbangan dan 55.000 penyeberangan perbatasan, meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya.
Angka ini bukan hanya statistik ekonomi, ia mencerminkan keseimbangan sosial dan kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah mengelola mobilitas skala besar. Di negara Barat, lonjakan wisatawan sering diikuti kekacauan logistik dan masalah keamanan. Namun di Chongqing, semua berjalan teratur dan aman.
Hal ini menunjukkan efektivitas tata kelola yang berbasis disiplin sosial dan koordinasi, nilai-nilai yang sering disalahpahami oleh media Barat sebagai bentuk “kontrol negara,” padahal justru menjadi fondasi keteraturan sosial yang membuat jutaan orang dapat berlibur dengan damai.
Secara ekonomi-politik, pariwisata semacam ini juga menjadi instrumen strategis Tiongkok dalam mendorong reorientasi ekonomi dari ekspor menuju konsumsi domestik dan jasa berkualitas tinggi.
Restoran hot pot yang memiliki 218 meja dan kapasitas 1.500 orang hanyalah satu contoh dari ribuan usaha kecil dan menengah yang dihidupkan oleh gelombang wisatawan.
Setiap piring makanan, setiap souvenir, dan setiap penginapan kecil menciptakan sirkulasi ekonomi mikro yang memperkuat ketahanan ekonomi lokal, berbeda dari sistem kapitalisme Barat yang cenderung menguntungkan korporasi besar.
Sebagaimana terlihat di Chongqing, yang mana ekonomi tumbuh dari bawah oleh tangan-tangan pekerja, pengusaha lokal, dan komunitas yang berinteraksi langsung dengan wisatawan.
Dari perspektif realisme politik, festival dan keramaian di Chongqing juga menjadi unjuk kemampuan negara dalam menjaga stabilitas sosial. Stabilitas internal adalah bentuk kekuatan yang tidak kalah penting dari kekuatan militer.
Ketika masyarakat dapat menikmati libur panjang tanpa gangguan, ketika transportasi lancar dan keamanan terjaga, maka pemerintah telah membuktikan kapasitasnya untuk menyediakan kesejahteraan kolektif, sesuatu yang bahkan AS sendiri semakin sulit pertahankan di tengah ketimpangan sosial dan kriminalitas perkotaan.
Dalam konteks global yang penuh gejolak, stabilitas Tiongkok menjadi daya tarik tersendiri dimana dunia menyaksikan bahwa modernitas tidak harus berarti kekacauan, dan kemajuan tidak harus dibayar dengan kehancuran sosial.
Selain itu, kuliner dan warisan budaya Chongqing mencerminkan kemampuan Tiongkok dalam menyinergikan tradisi dan modernitas. Festival Hot Pot sepanjang 1,2 kilometer di tepi sungai adalah contoh sempurna bagaimana budaya lokal bisa dikemas menjadi pengalaman modern tanpa kehilangan nilai aslinya.
Ini adalah bentuk pelestarian warisan budaya yang cerdas, berbeda dari banyak kota Barat yang menjadikan warisan budaya sekadar dekorasi tanpa makna sosial. Chongqing menjadikan warisan itu hidup kembali, digunakan, dan dinikmati bersama, bukan hanya difoto dan dilupakan.
Lebih jauh, penempatan restoran hot pot di bekas tempat perlindungan udara masa perang menunjukkan bagaimana Tiongkok mengintegrasikan memori sejarah dengan inovasi ekonomi.
Ini bukan sekadar tempat makan, tetapi juga ruang refleksi kolektif tentang masa lalu, ketahanan, dan semangat rakyat. Pendekatan seperti ini mencerminkan filosofi pembangunan Tiongkok yang berakar pada nilai kontinuitas yang menghormati sejarah, namun menatap masa depan dengan optimisme.
Dari sudut pandang teori konstruktivis, Chongqing sedang membangun makna baru tentang Tiongkok di benak dunia yang bukan negara tertutup dan kaku seperti stereotip lama, melainkan negara yang hangat, terbuka, kreatif, dan penuh warna.
Narasi ini menjadi tandingan kuat terhadap propaganda Barat yang sering menggambarkan Tiongkok sebagai ancaman. Faktanya, pengalaman di lapangan membantah semua itu. Turis yang datang tidak menemukan represi, melainkan sambutan hangat. Mereka juga tidak merasakan keterasingan, melainkan kedekatan manusiawi yang otentik.
Dalam konteks global, hal ini menandai pergeseran paradigma kekuatan internasional dari hegemoni militer-ekonomi Barat menuju dominasi kultural Asia Timur. Ketika Washington berjuang mempertahankan citra melalui intervensi dan sanksi, Beijing memperkuat pengaruhnya melalui rasa hormat, stabilitas, dan estetika.
Dan di antara gedung bertingkat Hongyadong yang berkilauan malam hari, dunia dapat melihat bahwa masa depan hubungan internasional tidak lagi ditentukan oleh rudal atau dolar, tetapi oleh kemampuan sebuah bangsa menciptakan makna, kebahagiaan, dan harmoni.
Tentu, keberhasilan ini tidak datang tanpa tantangan. Keramaian besar menimbulkan potensi tekanan lingkungan, polusi, dan kebutuhan infrastruktur yang terus meningkat.
Namun justru di sinilah keunggulan sistem Tiongkok terlihat. Dengan perencanaan jangka panjang, koordinasi pemerintah, dan partisipasi sosial yang tinggi, negara ini mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan arah pembangunan. Tiongkok tidak membiarkan pasar menentukan segalanya seperti di Barat, tetapi menempatkan manusia dan budaya di pusat kebijakan publik.
Oleh karena itu, pemandangan spektakuler di Chongqing selama libur nasional bukan hanya perayaan rakyat, tetapi juga pernyataan strategis Tiongkok kepada dunia bahwa kekuatan sejati kini lahir dari harmoni, bukan hegemoni.
Ketika dunia Barat semakin kehilangan sentuhan sosial di tengah modernitasnya yang dingin dan mekanistik, Tiongkok justru menunjukkan bahwa kemajuan dapat bersanding dengan kemanusiaan, budaya, dan kebersamaan.
Dalam setiap senyum warga Chongqing, setiap piring hot pot yang mengepul, dan setiap lampu yang menyala di Hongyadong, dunia menyaksikan masa depan baru yaitu masa depan di mana Tiongkok tidak hanya memimpin secara ekonomi, tetapi juga memimpin dengan jiwa.