
Kamis, 27 Oktober 2022 12:34:48 WIB
Tanggal 25 Oktober merupakan ‘Hari Anti-sanksi’ yang ditetapkan oleh Masyarakat Pembangunan Afrika Bagian Selatan (SADC) Beberapa negara Afrika kembali menyerukan agar negara-negara Barat termasuk AS melepaskan sanksi terhadap Zimbabwe
Tiongkok
CRI

Tangkapan layar. (CCTV)
Tanggal 25 Oktober merupakan ‘Hari Anti-sanksi’ yang ditetapkan oleh Masyarakat Pembangunan Afrika Bagian Selatan (SADC). Beberapa negara Afrika kembali menyerukan agar negara-negara Barat termasuk AS melepaskan sanksi terhadap Zimbabwe. Belum lama berselang, di depan Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB ke-77, Presiden Namibia Hage Geingob dengan serius mengecam sanksi ilegal negara-negara Barat yang telah diberlakukan cukup lama, dan menyebut harus membebaskan Zimbabwe dari sanksi agar mereka memperoleh peluang pembangunan. Pendirian tersebut memperoleh dukungan luas komunitas internasional.
Sanksi sepihak AS terhadap Zimbabwe telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Menurut statistik, selama 20 tahun ini, sanksi tersebut mendatangkan kerugian ekonomi sebesar US$ 40 miliar kepada Zimbabwe. Padahal sanksi AS terhadap Zimbabwe hanyalah sebuah cermin aksi intervensi AS di negara-negara Afrika.
Setelah pemerintah AS sekarang naik panggung, mereka terus melambaikan ‘ranting zaitun’ kepada Afrika, hubungan AS dengan Afrika pun terus menghangat. Pada bulan Juli lalu, AS dan negara-negara Afrika mengadakan pertemuan puncak bisnis. Dalam kunjungan kedua ke Afrika selama masa jabatannya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengumumkan strategi baru AS terhadap Afrika Sub-Sahara, menyebut bahwa AS akan mendorong keterbukaan Afrika pada 5 tahun mendatang, berjanji membantu Afrika di bidang penanggulangan wabah Covid-19 serta pemulihan ekonomi. Opini umum berpendapat, di latar belakang AS terus mempersengit persaingan negara besar, strategi AS di Afrika tidak bertujuan membantu pembangunan Afrika tapi bermaksud menjadikan Afrika sebagai bidak catur atau alat untuk strategi AS, dengan mengatasnamakan kerja sama.
Saat ini, eskalasi krisis Ukraina, krisis ketahanan pangan dan krisis energi telah mendatangkan tantangan besar bagi revitalisasi ekonomi Afrika. Akan tetapi, negara-negara Barat yang dikepalai AS tidak memperhatikan tantangan yang dihadapi pembangunan Afrika itu, malah meningkatkan sanksi terus, bahkan memaksakan negara-negara Afrika memilih kubu. Perbuatan AS itu seperti menyiram minyak ke atas api.
Sebagai ‘aksi besar’ yang akan dilakukan AS di Afrika, jauh pada musim panas yang lalu, Presiden AS Biden telah mengumumkan akan mengadakan KTT Pemimpin AS-Afrika di Washington pada pertengahan bulan Desember ini, untuk ‘menunjukkan komitmen abadi AS terhadap Afrika’, ‘menonjolkan pentingnya hubungan AS-Afrika’, dan ‘meningkatkan kerja sama terkait isu global yang menjadi prioritas bersama’.
AS benar-benar ingin membantu Afrika, atau ingin kembali membuka ‘cek kosongnya’? Hal ini akan dibuktikan oleh kenyataan. Seandainya AS benar-benar ingin bekerja sama, Washington harus melepaskan ‘tongkat’ sanksinya terhadap negara-negara Afrika terlebih dahulu.
Komentar
Berita Lainnya
Produsen kereta api Tiongkok, CRRC Changke Co., Ltd. membuat generasi baru kereta antarkota hibrida di Tiongkok pada Minggu (2/10). Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:26:6 WIB

Wakil Duta Besar Tiongkok untuk PBB Geng Shuang pada hari Jumat 30 September lalu mengatakan Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:48:4 WIB

Petani di wilayah Changfeng Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 14:51:7 WIB

Pembalap Formula 1 asal Tiongkok Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 15:19:35 WIB

Tiongkok mendesak AS untuk mengakhiri kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam Amerika selama sesi PBB Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 16:45:29 WIB

Pemasangan Atap Beton Pertama Terowongan Jalan Raya Terpanjang di Provinsi Jiangsu Tiongkok Telah dimulai Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 17:25:54 WIB

Tiongkok ingin mengoptimalkan struktur ekonomi negara Tiongkok
Selasa, 4 Oktober 2022 17:30:30 WIB
