
Minggu, 24 Agustus 2025 23:56:25 WIB
Opini: Narasi "Krisis Tiongkok" oleh AS & Barat Tumbang, Data Buktikan Tiongkok Tetap Jadi Pusat Investasi Dunia
Ekonomi
Muhammad Rizal Rumra

Kota Shanghai yang gemerlap: simbol kekuatan ekonomi modern Tiongkok yang tak tergoyahkan
Ketika dunia masih berdebat tentang apakah Tiongkok masih layak menjadi tujuan utama investasi asing di tengah ketegangan geopolitik dan perang dagang yang belum juga surut, data resmi yang dirilis pada 22 Agustus 2025 justru menampilkan gambaran paradoksal.
Dalam tujuh bulan pertama tahun ini, sebanyak 36.133 perusahaan penanaman modal asing baru berdiri di Tiongkok Daratan, meningkat 14,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka tersebut jelas menegaskan bahwa semakin banyak perusahaan global yang memilih untuk membuka kantor, pabrik, pusat riset, atau cabang distribusi di negeri tersebut.
Namun, pada saat yang sama, nilai investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) yang benar-benar digunakan justru turun 13,4 persen menjadi sekitar 467 miliar yuan atau sekitar 1.058 triliun rupiah. Jika demikian, apakah Tiongkok sedang melemah dan mulai ditinggalkan, atau justru sedang beralih pada strategi baru yang lebih selektif terhadap jenis investasi yang diterimanya?
Jika dianalisis, bertambahnya jumlah perusahaan baru asing tetapi berkurangnya nilai FDI dapat dijelaskan dengan dua hal utama. Pertama, ukuran proyek yang masuk cenderung lebih kecil daripada dekade sebelumnya. Jika sebelumnya banyak investor masuk untuk membiayai pembangunan infrastruktur raksasa atau akuisisi perusahaan besar, kini lebih banyak investasi diarahkan pada proyek dengan skala terbatas, misalnya laboratorium riset, pusat inovasi, atau layanan digital yang tidak membutuhkan modal miliaran dolar sekaligus.
Makanya, meskipun laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (United Nations Conference on Trade and Development/UNCTAD) tahun 2024 menegaskan total nilai FDI ke Tiongkok menurun, namun pada faktanya jumlah proyek baru justru meningkat.
Kedua, arah investasi asing kini lebih terfokus pada sektor bernilai tinggi yang sesuai dengan prioritas kebijakan pemerintah Tiongkok. Selama Januari hingga Juli 2025, investasi asing di industri manufaktur mencapai lebih dari 121 miliar yuan atau sekitar 274 triliun rupiah sementara di sektor jasa mencapai lebih dari 336 miliar yuan atau sekitar 761 triliun rupiah. Yang paling mencolok adalah meningkatnya aliran modal ke industri teknologi tinggi yang totalnya melebihi 137 miliar yuan atau sekitar 310 triliun rupiah.
Jika ditelusuri lebih jauh, sektor yang mengalami lonjakan adalah sektor-sektor yang erat kaitannya dengan masa depan ekonomi global. Jasa e-commerce tumbuh luar biasa dengan peningkatan 146,8 persen, menunjukkan daya tarik pasar digital Tiongkok yang mengandalkan ratusan juta konsumen aktif.
Di bidang manufaktur peralatan kedirgantaraan terjadi peningkatan 42,2 persen, menandakan kepercayaan investor pada pertumbuhan industri penerbangan Tiongkok yang kini menjadi salah satu pasar terbesar di dunia. Sektor manufaktur kimia-farmasi naik 37,4 persen, sejalan dengan meningkatnya permintaan obat, bioteknologi, dan layanan kesehatan pasca-pandemi.
Sementara itu, manufaktur instrumen dan peralatan medis juga tumbuh 25,5 persen, memperlihatkan posisi Tiongkok yang semakin kokoh sebagai basis produksi alat kesehatan global. Dengan kata lain, investor asing kini lebih memilih masuk ke sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan teknologi, kesehatan, dan digitalisasi yang diyakini akan mendominasi ekonomi masa depan.
Dari sisi asal modal, pola yang muncul juga menarik. Investasi dari negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) meningkat 1,1 persen, menandakan bahwa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia tetap menganggap Tiongkok sebagai pasar penting.
Swiss mencatat lonjakan hingga 63,9 persen, terutama melalui langkah perusahaan farmasi global seperti Roche yang berinvestasi sebesar 2,04 miliar yuan atau sekitar 34 triliun rupiah untuk pusat riset dan produksi biofarmasi di Shanghai. Jepang, meskipun hubungannya dengan Tiongkok kerap tegang secara politik, justru meningkatkan investasinya hingga 53,7 persen. Perusahaan otomotif seperti Toyota masih memperluas kapasitas produksi kendaraan listrik dan hibrida karena sadar pasar Tiongkok terlalu besar untuk ditinggalkan.
Inggris pun mencatat kenaikan 19,5 persen, salah satunya melalui AstraZeneca yang meresmikan pabrik inhaler ramah lingkungan di Wuxi. Data ini memperlihatkan bahwa bahkan negara-negara Barat yang secara politik sering bersuara keras terhadap Tiongkok tetap tidak bisa mengabaikan potensi ekonomi di sana, sebab logika pasar dan keuntungan tetap lebih kuat daripada perbedaan ideologi.
Situasi ini juga tidak terlepas dari arah kebijakan Tiongkok sendiri. Sejak awal tahun 2025, pemerintah meluncurkan Rencana Aksi untuk Menstabilkan Investasi Asing yang berisi langkah-langkah untuk menjaga dan meningkatkan minat investor asing. Di antaranya adalah memperpendek daftar negatif atau sektor yang dilarang bagi investor asing, membuka sektor baru seperti telekomunikasi, pendidikan, dan kesehatan, mempermudah aturan transfer data lintas batas di zona perdagangan bebas, serta menghapus hambatan non-tarif yang sering mengganggu kelancaran investasi. Semua kebijakan ini memperlihatkan bahwa Tiongkok tidak lagi sekadar mengejar jumlah investasi besar, tetapi justru menyaring dan mengarahkan investasi ke sektor yang relevan dengan pembangunan jangka panjang.
Jika dilihat melalui lensa teori hubungan internasional, fenomena ini semakin menarik. Konsep interdependensi kompleks menjelaskan bahwa meski hubungan politik Tiongkok dengan negara Barat sering tegang, dalam kenyataannya perusahaan asing tetap hadir karena terikat dalam rantai produksi global yang sulit dipisahkan. Airbus dari Eropa misalnya, tetap memperluas jalur perakitan di Tianjin, dan Boeing dari Amerika kembali melanjutkan pengiriman pesawat 737 MAX ke pasar Tiongkok.
Teori geoekonomi dan kapitalisme negara juga relevan, karena Tiongkok memang sengaja menggunakan investasi asing bukan hanya untuk mendatangkan modal, melainkan untuk mendapatkan teknologi, memperkuat riset, dan mendorong daya saing nasional. Sementara itu, strategi hedging yang dilakukan investor asing juga terlihat jelas bahwa mereka tidak ingin keluar sepenuhnya dari Tiongkok, tetapi juga tidak mau hanya bergantung pada pasar tersebut. Inilah mengapa investasi ke ASEAN juga meningkat, sehingga ASEAN dan Tiongkok justru saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Dampaknya bagi dunia cukup jelas. Bagi Tiongkok sendiri, meskipun nilai FDI turun, mereka sebenarnya berhasil menarik investasi yang lebih berkualitas, sesuai dengan agenda besar pembangunan ekonomi yang disebut "Kekuatan Produktif Berkualitas Baru"(NQPF), yaitu fokus pada teknologi, inovasi, dan efisiensi.
Bagi ASEAN, fenomena ini menjadi peluang besar, karena banyak perusahaan global menerapkan strategi “China+1” dengan memperluas produksi ke Asia Tenggara tanpa meninggalkan Tiongkok sebagai pusat riset dan pasar utama. Bagi negara-negara Barat, paradoks ini memperlihatkan bahwa retorika politik keras tidak serta-merta mengurangi keterlibatan ekonomi mereka dengan Tiongkok. Perusahaan-perusahaan besar tetap menanamkan modal karena mempertimbangkan keuntungan jangka panjang.
Dengan demikian, angka FDI Tiongkok pada paruh pertama 2025 bukanlah tanda pelemahan, melainkan tanda transformasi. Jumlah perusahaan asing baru yang meningkat menunjukkan kepercayaan bisnis tetap tinggi, meski nilai total dana yang dipakai mengecil. Hal ini justru mengindikasikan bahwa Tiongkok kini sedang berfokus pada investasi yang lebih “pintar” dan lebih strategis.
Bagi masyarakat awam, pesan yang bisa ditarik sederhana bahwasanya jangan hanya melihat angka besar yang menurun, tetapi lihatlah ke arah mana investasi itu bergerak. Jika sebelumnya Tiongkok dikenal sebagai basis produksi barang murah, kini negara itu sedang memosisikan diri sebagai pusat inovasi, teknologi, dan kesehatan dunia. Paradoks FDI tahun 2025 sebenarnya adalah cermin dari pergeseran strategi ekonomi Tiongkok yang berusaha memastikan bahwa setiap yuan asing yang masuk benar-benar memperkuat fondasi masa depan negaranya.
Komentar
Berita Lainnya
Banyaknya investasi yang masuk ke Jateng saat ini menjadi bukti bahwa Indonesia masih menjadi negara yang dipercaya para investor Ekonomi
Selasa, 4 Oktober 2022 18:8:39 WIB

Seperempat abad yang lalu Ekonomi
Kamis, 6 Oktober 2022 13:29:54 WIB

Selama liburan Hari Nasional tahun ini permintaan untuk perjalanan singkat dan penjualan peralatan luar ruangan terus meningkat Ekonomi
Jumat, 7 Oktober 2022 19:14:0 WIB

Shanghai mengharapkan mobil listrik penuh untuk membuat lebih dari setengah penjualan mobil pada tahun 2025 Ekonomi
Kamis, 13 Oktober 2022 21:21:32 WIB

Para petani cabai dan beras mengaku risau akan lonjakan harga akibat curah hujan yang tinggi sejak pekan lalu Ekonomi
Sabtu, 15 Oktober 2022 8:37:6 WIB

Huawei mengumumkan Ekonomi
Kamis, 20 Oktober 2022 10:1:4 WIB

14 negara teken kesepakatan dagang dengan pengusaha Indonesia Ekonomi
Kamis, 20 Oktober 2022 15:36:8 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas 5 Ekonomi
Sabtu, 22 Oktober 2022 11:45:9 WIB
