Rabu, 18 Juni 2025 23:17:40 WIB

Di balik kemajuan teknologi luar angkasa yang kerap didominasi Barat
Teknologi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi Stasiun Luar Agkasa Tiongkok

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menyaksikan babak baru dalam sejarah eksplorasi luar angkasa. Negara-negara adidaya, termasuk aktor-aktor baru di Asia, berlomba-lomba menjelajahi tata surya bukan sekadar untuk prestise, tetapi juga untuk memetakan masa depan sains, energi, hingga kolonisasi luar Bumi.

Salah satu negara yang muncul sebagai kekuatan utama dalam bidang ini adalah Tiongkok. Dengan visi jangka panjang, kemauan politik kuat, dan konsistensi teknologi, Tiongkok berhasil menciptakan ekosistem eksplorasi ruang angkasa yang tak hanya mandiri dari pengaruh sistem Barat, tapi juga cukup revolusioner untuk membuka bab baru dalam ilmu pengetahuan antariksa global.

Program luar angkasa Tiongkok, terutama melalui misi Chang’e, merupakan salah satu wujud dari keberhasilan tersebut. Dinamai dari dewi Bulan dalam mitologi Tiongkok, program ini bukan sekadar unjuk kebolehan, tetapi sebuah strategi besar untuk memahami asal-usul dan potensi Bulan sebagai objek penelitian dan sumber daya masa depan.

Mulai dari misi Chang’e 3 hingga rencana besar pembangunan Stasiun Penelitian Bulan Internasional (ILRS), Tiongkok secara bertahap membangun kemampuan yang menyamai bahkan dalam beberapa aspek melampaui negara-negara Barat yang lebih dulu berkiprah dalam eksplorasi ruang angkasa.

Penemuan-penemuan yang dihasilkan dari misi-misi ini pun tidak kalah mencengangkan. Salah satunya adalah fenomena yang dikenal sebagai “pondok misterius”, sebuah objek berbentuk kubus yang tampak menjulang di cakrawala kawah Von Karman di sisi jauh Bulan, yang berhasil diabadikan oleh rover Yutu-2 pada akhir tahun 2021.

Awalnya memicu spekulasi liar, dari struktur buatan hingga bangunan alien, investigasi mendalam kemudian mengonfirmasi bahwa objek itu adalah batu besar yang secara kebetulan membentuk ilusi optik menyerupai bangunan. Namun, kasus ini menegaskan betapa terbatasnya persepsi visual manusia dalam lingkungan asing seperti Bulan, dan bagaimana eksplorasi ilmiah sangat dibutuhkan untuk memisahkan fakta dari persepsi.

Selain itu, penemuan bola kaca transparan di permukaan Bulan yang diduga terbentuk dari tumbukan meteorit atau aktivitas vulkanik purba yang menawarkan petunjuk baru tentang dinamika geologis satelit alami Bumi ini. Bola kaca tersebut tidak hanya menambah dimensi visual dari permukaan Bulan, tetapi juga menyimpan informasi penting tentang komposisi dan sejarah material Bulan yang selama ini sulit diakses. Bersama dengan formasi batuan unik lainnya yang tampak terukir atau terbelah rapi, semua ini menunjukkan bahwa permukaan Bulan jauh lebih aktif secara geologis di masa lalu daripada yang selama ini kita kira.

Di balik semua capaian ini, ada infrastruktur teknologi yang luar biasa kompleks dan canggih. Rover Yutu-2, sebagai penjelajah pertama yang berhasil beroperasi di sisi jauh Bulan, dilengkapi dengan enam roda independen dan sistem suspensi adaptif yang memungkinkan navigasi di medan ekstrem.

Rover ini juga memiliki sistem navigasi semi-otonom dan berbagai sensor ilmiah seperti radar penembus tanah (GPR) dan spektrometer, yang memungkinkannya mengumpulkan data tanpa ketergantungan penuh pada kendali dari Bumi. Untuk mengatasi kendala komunikasi dari sisi jauh Bulan, Tiongkok juga meluncurkan satelit Queqiao yang ditempatkan strategis di titik Lagrange, berfungsi sebagai relay data yang stabil antara Yutu-2 dan pusat kendali di Bumi. Seluruh sistem ini membuktikan bahwa Tiongkok tidak hanya mengandalkan teknologi impor, tetapi juga telah mengembangkan perangkat dan arsitektur luar angkasa yang kompetitif secara global.

Namun yang paling mengesankan bukan hanya pencapaiannya, melainkan cara Tiongkok membangunnya dengan sistem sendiri. Tiongkok tidak mengikuti cetak biru Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) maupun Badan Antariksa Eropa (ESA). Ia merumuskan modelnya sendiri, dengan pendekatan jangka panjang, kontrol negara yang strategis, dan riset mandiri yang konsisten.

Dalam hal ini, Indonesia memiliki pelajaran penting bahwa kemajuan besar dalam sains dan teknologi tidak harus bergantung pada sistem atau standar luar. Dibutuhkan keberanian untuk merumuskan jalur pembangunan yang sesuai dengan konteks nasional, dengan karakteristik yang khas, berakar pada kebutuhan dan kekuatan sendiri. Dalam konteks ruang angkasa maupun sektor lain, inilah makna sejati dari kedaulatan teknologi.

Langkah-langkah Tiongkok juga mencerminkan pemahaman strategis terhadap pentingnya keberadaan manusia di luar Bumi. Misi Chang’e 6, yang berhasil membawa kembali sampel dari sisi jauh Bulan, merupakan prestasi ilmiah luar biasa yang membuka jalan bagi analisis komparatif antara dua sisi Bulan yang memiliki karakter geologis berbeda.

Misi Chang’e 7 berikutnya menargetkan kutub selatan Bulan untuk mencari es air yang tersembunyi dalam kawah abadi gelap sebagai potensi sumber daya vital untuk kehidupan dan misi jangka panjang. Dan lebih jauh lagi, Chang’e 8 dirancang untuk menguji teknologi pencetakan Tiga Dimensi (3D) menggunakan debu Bulan, serta sistem pendukung kehidupan sebagai langkah awal membangun fasilitas permanen di permukaan Bulan.

Gambaran ini menandakan bahwa Tiongkok tidak melihat eksplorasi antariksa sebagai simbol kekuatan semata, tetapi sebagai investasi nyata bagi masa depan. Dengan membangun Stasiun Penelitian Bulan Internasional, mereka hendak menciptakan pusat gravitasi baru dalam kolaborasi sains global. Masa depan eksplorasi luar angkasa bukan lagi milik satu blok ideologi atau ekonomi, tetapi terbuka bagi siapa saja yang berani bermimpi, berinvestasi, dan membangun sistemnya sendiri.

Indonesia, dengan potensi geografis, ilmiah, dan demografis yang besar, harus mulai membangun kerangka eksplorasi ruang angkasanya sendiri bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai partisipan aktif. Kita tidak bisa hanya menjadi pasar teknologi luar negeri, melainkan harus berani menciptakan, mengembangkan, dan memimpin dalam bidang yang strategis ini. Dan dalam konteks itu, Tiongkok telah menunjukkan bahwa keberhasilan luar angkasa bisa dicapai bukan karena meniru, melainkan karena memilih untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Komentar

Berita Lainnya