Jumat, 22 Agustus 2025 23:58:11 WIB

Opini: Dominasi Robotika Tiongkok di Beijing Membungkam Hegemoni Teknologi Amerika Serikat dan Barat
Teknologi

Muhammad Rizal Rumra

banner

Salah satu tim robot tampil pada upacara pembukaan World Humanoid Robot Games 2025

Konferensi Robot Dunia (World Robot Conference/WRC) yang berakhir di Beijing pada 12 Agustus 2025, diikuti dengan perhelatan perdana World Humanoid Robot Games (WHRG) pada 14–17 Agustus, bukanlah sekadar ajang pamer teknologi. Keduanya adalah pernyataan politik dan ekonomi yang kuat tentang bagaimana Tiongkok memosisikan diri sebagai motor utama dalam revolusi robotika global.

Jika selama satu dekade terakhir dunia hanya mengenal Kecerdasan Buatan (AI) sebagai fenomena digital berbasis teks, gambar, dan data, maka tahun 2025 menandai babak baru bagaimana AI hadir dalam tubuh fisik seperti robot humanoid yang bisa berjalan, berlari, menggiring bola, memilah obat, memindahkan barang, hingga menyerbuki bunga.

Di kawasan pengembangan ekonomi-teknologi Beijing atau yang dikenal sebagai Beijing E-Town, WRC 2025 memamerkan 1.569 produk dari 220 perusahaan dengan lebih dari 500 skenario aplikasi. Dari manufaktur, pertanian, hingga rumah tangga, robot ditampilkan bukan lagi sebagai tontonan futuristik, tetapi sebagai solusi praktis kehidupan sehari-hari.

Festival Konsumen Robot perdana bahkan berhasil menjual 19.000 unit dengan nilai transaksi lebih dari 200 juta yuan atau sekitar 453 miliar rupah, menciptakan tren baru bahwa robot bukan hanya alat industri, melainkan juga produk konsumsi rumah tangga. Dari sisi hulu, komitmen investasi senilai 1,481 miliar yuan atau sekitar 3,3 triliun rupiah, peluncuran laporan “Sepuluh Tren Robot Cerdas 2025”, serta enam inisiatif talenta menegaskan bahwa Tiongkok tidak hanya memproduksi teknologi, tetapi juga menyiapkan ekosistem jangka panjang untuk mendukung difusi dan keberlanjutannya.

Klimaksnya hadir dalam acara WHRG, yang mana sebanyak 280 tim dari 16 negara dengan lebih dari 500 robot humanoid berkompetisi dalam 26 cabang dan 538 sub-event di arena “Ice Ribbon” dan “Panda Eye”. Kompetisi berlangsung dari lari 400 meter, sepak bola 3v3 dan 5v5, hingga tugas praktis seperti menyortir obat dan memindahkan material.

Seluruh robot bertindak otonom, tanpa kendali jarak jauh, sehingga yang diuji adalah kemampuan persepsi, koordinasi, dan pengambilan keputusan secara mandiri. Di balik sorotan lampu dan parade budaya tradisional yang dipadukan dengan pertunjukan robotik, tersimpan pesan strategis jika Tiongkok ingin menunjukkan bahwa integrasi seni, budaya, teknologi, dan inovasi dapat membentuk narasi modernitas yang khas, berbeda dari sekadar adopsi Barat.

Dari perspektif hubungan internasional, WRC dan WHRG adalah wujud nyata negara pembangunan (developmental state) yang mampu mengorkestrasi inovasi secara sistemik. Setidaknya ada tiga hal yang terlihat jelas. Pertama, sisi pasokan seperti riset, investasi, dan talenta difasilitasi negara.

Kedua, sisi permintaan seperti festival konsumen dan kompetisi publik yang menciptakan pasar awal dan legitimasi sosial. Ketiga, sisi kultural yang mana robot diposisikan dalam narasi tradisi Tiongkok, dari kungfu hingga opera, yang memperkuat penerimaan sosial. Dengan kata lain, Tiongkok berhasil membangun apa yang disebut dalam kajian Science & Technology Studies sebagai “sociotechnical imaginaries” yakni imajinasi kolektif tentang masa depan teknologi yang dilembagakan ke dalam kebijakan dan budaya.

Namun, inovasi paling strategis justru datang dari bidang yang sering dianggap tradisional yakni pertanian. GEAIR, robot pemuliaan tanaman berbasis AI yang dikembangkan Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, mampu melakukan penyerbukan silang secara otomatis dan presisi. Teknologi ini menjawab kebutuhan mendesak akibat krisis iklim, degradasi lahan, dan risiko rantai pasok global.

Dengan populasi 1,4 miliar jiwa, transformasi pertanian cerdas bukan hanya soal produktivitas, tetapi soal ketahanan pangan dan kedaulatan nasional. Dari kacamata realisme struktural, teknologi ini adalah instrumen kekuatan negara, sama pentingnya dengan rudal atau satelit. Dari perspektif neo-merkantilisme, GEAIR juga menjadi alat diplomasi teknologi yang mana Tiongkok dapat menawarkannya kepada negara-negara berkembang sebagai bentuk kerja sama pembangunan dan memperluas pengaruh lewat “soft power teknologi”.

Jika dibandingkan dengan Barat, terlihat perbedaan fundamental. Di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, robot humanoid dan teknologi pertanian cerdas lebih banyak digerakkan sektor swasta, bersifat modular, dan terfragmentasi. Negara berperan sebagai regulator dan pemberi hibah, tetapi jarang membangun ekosistem terintegrasi dari riset hingga pasar konsumen.

Sebaliknya, Tiongkok menempuh pendekatan sistemik yang mana pemerintah kota, kementerian, media publik, taman industri, investor, dan universitas dilibatkan dalam satu orkestra kebijakan. Perbedaan arsitektur ini membuat Tiongkok mampu mempercepat skala adopsi, sementara Barat masih terjebak dalam fragmentasi.

Meski demikian, beberapa tantangan tetap ada. Pertama, perang standar internasional. Jika Tiongkok berhasil menetapkan standar teknis robot humanoid melalui adopsi massal domestik dan ekspor ke negara berkembang, perusahaan Barat akan terpaksa menyesuaikan. Namun, jika Barat mendorong standar keamanan lebih ketat, ekspor Tiongkok bisa terhambat. Kedua, kendala komponen kunci. Motor torsi tinggi, sensor canggih, dan chip AI masih menjadi titik rawan dalam persaingan geopolitik.

Ketiga, isu sosial-ekonomi. Robot di sektor pertanian berpotensi menggeser petani kecil jika kebijakan redistribusi nilai tambah tidak disiapkan. Keempat, tantangan biaya. Robot harus mampu bersaing dengan tenaga manusia dari segi biaya total kepemilikan (TCO) agar benar-benar masif diadopsi.

Oleh karena itu, bagi negara berkembang seperti Indonesia, rangkaian WRC dan WHRG memberikan pelajaran berharga. Pertama, kompetisi robot berbasis tantangan dapat menjadi kebijakan publik, misalnya untuk pemanenan sawit, inspeksi budidaya laut, atau respons bencana.

Kedua, pemerintah perlu menciptakan “demand pull” lewat belanja publik yang mendorong pasar awal robot, sembari memastikan interoperabilitas agar tidak terjebak pada satu vendor. Ketiga, regulasi keamanan dan etika harus dibangun sejak dini melalui sandbox uji coba.

Keempat, peluang besar ada di rantai pasok yang mana Indonesia tidak harus membuat humanoid utuh, tetapi bisa fokus pada komponen presisi, perangkat lunak tugas-spesifik, atau layanan purna jual. Kelima, diplomasi standar internasional perlu diperkuat agar produk-produk lokal bisa masuk dalam pasar global.

Lebih jauh, GEAIR juga telah memberi inspirasi langsung. Indonesia, sebagai negara agraris, dapat memanfaatkan teknologi serupa untuk padi, jagung, sawit, atau rumput laut. Dengan menggabungkan keahlian pemuliaan lokal dan data agroekologi tropis, robot pertanian cerdas bisa menjadi jalan keluar untuk meningkatkan produktivitas sekaligus memperkuat kedaulatan pangan.

Kesimpulannya, WRC dan WHRG 2025 adalah titik balik penting dalam evolusi teknologi global. Mereka menandai pergeseran AI dari ruang digital menuju dunia fisik, dari layar ke tubuh, dan dari data ke tindakan. Tiongkok menunjukkan bahwa kekuatan abad ke-21 tidak hanya diukur dari jumlah senjata atau cadangan devisa, tetapi juga dari siapa yang mampu menghadirkan robot dalam kehidupan nyata dari pabrik, rumah sakit, dan hotel, hingga ladang pangan.

Pertarungan masa depan mungkin tidak hanya berlangsung di medan perang konvensional, tetapi juga di lapangan sepak bola robot, rumah kaca pintar, dan arena kompetisi humanoid. Dan dalam perlombaan itu, Tiongkok tampaknya sudah selangkah lebih maju.

Komentar

Berita Lainnya