Bharata Online - Jika selama ini kita hanya mengenal antarmuka otak-komputer (Brain-Computer Interface/BCI) melalui film fiksi ilmiah, kini dunia menyaksikan bagaimana Tiongkok berhasil mengubah imajinasi itu menjadi kenyataan klinis. Pada tahun 2025, Tiongkok mencatat sejarah dengan uji klinis prospektif pertama untuk BCI invasif, menjadikannya negara kedua di dunia yang mampu mencapai tahap ini setelah Amerika Serikat (AS).
Seorang pria yang kehilangan seluruh anggota tubuhnya menjadi partisipan percobaan tersebut, dan dalam waktu singkat hanya dua hingga tiga minggu pelatihan, ia sudah mampu mengetik, bermain gim, dan mengendalikan perangkat digital dengan tingkat akurasi yang mendekati pengguna normal.
Fakta ini bukan sekadar pencapaian medis, melainkan simbol transisi peradaban teknologi, di mana Tiongkok tampil sebagai kekuatan baru dalam inovasi neuroteknologi global.
Kemajuan ini membuktikan bahwa Tiongkok kini memiliki ekosistem yang lengkap mulai dari riset dasar, rekayasa teknologi, hingga aplikasi klinis, sehingga mampu memimpin bukan hanya di bidang manufaktur, tetapi juga di garis depan sains paling mutakhir.
Seperti dijelaskan peneliti Zhao Zhengtuo dari Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, uji coba ini mengirimkan pesan jelas kepada dunia bahwa Tiongkok memiliki kapabilitas menyeluruh dalam menguasai teknologi yang kelak akan mendefinisikan masa depan kesehatan manusia.
Narasi ini penting, sebab di tengah ketegangan geopolitik dan rivalitas teknologi dengan Barat, keberhasilan BCI Tiongkok bukan hanya kemenangan ilmiah, tetapi juga kemenangan strategis.
Melihat lebih jauh, pemerintah Tiongkok tidak hanya berhenti pada eksperimen laboratorium. Pada Agustus 2025, tujuh lembaga pusat termasuk Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi (MIIT) serta Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) menerbitkan pedoman bersama untuk mendorong perkembangan industri BCI.
Dokumen ini menjadi fondasi yang memastikan terobosan ilmiah tidak berhenti di ruang riset, melainkan berubah menjadi ekosistem industri yang berkelanjutan, terukur, dan berorientasi pasar.
Hasilnya sudah terlihat, dimana analis memproyeksikan pasar BCI Tiongkok akan melampaui 6 miliar yuan atau sekitar 14 triliun rupiah pada tahun 2028, angka yang menegaskan bahwa BCI bukan lagi sekadar eksperimen, melainkan sektor ekonomi baru yang siap mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Fakta lain yang menguatkan posisi Tiongkok adalah daya saing global sektor alat kesehatan. Selama lima tahun terakhir, perdagangan impor dan ekspor peralatan medis Tiongkok mencatat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 9,4 persen.
Badan Administrasi Produk Medis Nasional juga sudah menyetujui 45 perangkat medis inovatif hanya pada paruh pertama tahun 2025, menunjukkan bahwa regulasi dan komersialisasi berjalan beriringan dengan riset.
Hal ini kontras dengan model Barat yang sering kali terjebak dalam birokrasi panjang dan fragmentasi antara laboratorium, regulator, dan industri. Tiongkok justru menunjukkan pendekatan sistemik di mana negara, ilmuwan, industri, dan rumah sakit terhubung dalam satu strategi nasional.
Dari perspektif hubungan internasional, ada beberapa cara untuk memahami mengapa pencapaian ini begitu signifikan. Dalam kerangka realis, keberhasilan Tiongkok membangun BCI invasif menambah dimensi baru pada kekuatan nasional komprehensif. Penguasaan teknologi otak-mesin memberi keunggulan strategis yang tak ternilai, baik untuk sektor sipil seperti kesehatan maupun potensi militer dan keamanan.
Sementara AS berfokus pada proyek-proyek swasta seperti Neuralink, Tiongkok memperlihatkan bahwa sinergi negara dan sektor riset publik mampu menghasilkan lompatan yang lebih cepat dan stabil.
Dalam kerangka liberal, kemajuan BCI Tiongkok menunjukkan bahwa inovasi tidak bisa dilepaskan dari integrasi pasar dan kerja sama internasional. Lonjakan ekspor peralatan medis dan kolaborasi riset lintas batas memperlihatkan bahwa Tiongkok bukan hanya membangun teknologi untuk dirinya sendiri, tetapi juga berkontribusi pada kesehatan global.
Teknologi BCI dapat memberi harapan bagi pasien di seluruh dunia mulai dari penderita kebutaan, afasia, Parkinson, epilepsi, hingga Alzheimer dan autisme. Inovasi ini membuka peluang baru untuk diplomasi kesehatan, di mana Tiongkok tampil bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai penyedia solusi bagi tantangan medis umat manusia.
Dari perspektif konstruktivis, pencapaian ini juga membentuk identitas baru Tiongkok di mata dunia. Jika selama dekade-dekade sebelumnya Tiongkok sering dicitrakan sebagai negara peniru teknologi Barat, kini ia membangun narasi sebagai inovator yang memberi harapan nyata bagi pasien.
Pesan moral “membawa harapan bagi pasien” yang dikemukakan oleh para dokter dan peneliti bukan sekadar retorika, melainkan strategi untuk membangun legitimasi domestik dan internasional. Inilah soft power baru Tiongkok, bukan hanya gedung pencakar langit atau jalur kereta cepat, melainkan kemampuan untuk mengembalikan martabat manusia melalui teknologi.
Tentu, ada tantangan yang tidak boleh diabaikan. Teknologi BCI invasif mengangkat isu serius tentang keamanan data saraf, privasi pikiran, serta dampak jangka panjang terhadap kesehatan otak. Potensi dual-use juga nyata, teknologi yang mampu memulihkan fungsi fisiologis bisa dimanfaatkan untuk kepentingan militer atau pengawasan.
Namun justru di sinilah keunggulan Tiongkok terlihat. Dengan kerangka regulasi yang diperbarui secara cepat, pedoman pengawasan klinis yang jelas, serta orientasi pada standar internasional, Tiongkok berupaya meminimalkan risiko tanpa memperlambat inovasi. Langkah ini menunjukkan kedewasaan dalam mengelola teknologi mutakhir, sesuatu yang sering kali sulit dicapai negara-negara Barat yang terjebak dalam tarik menarik politik domestik.
Implikasi jangka panjangnya sangat besar. Bagi pasien, ini berarti kemandirian baru dan kualitas hidup yang lebih baik. Bagi peneliti, ini membuka era baru kolaborasi lintas disiplin, dari ilmu saraf, kecerdasan buatan, hingga rekayasa material.
Bagi dunia internasional, ini adalah tanda bahwa peta kekuatan teknologi global sedang bergeser. Tiongkok bukan hanya “pabrik dunia,” melainkan pusat inovasi yang mampu menantang dominasi Barat di bidang paling sensitif sekalipun seperti hubungan antara otak manusia dan mesin.
Pada akhirnya, pencapaian BCI invasif Tiongkok adalah lebih dari sekadar kemenangan teknologi, ini adalah bukti bahwa sebuah negara dengan visi strategis, kebijakan terpadu, dan orientasi jangka panjang mampu mengubah fiksi ilmiah menjadi kenyataan yang menyentuh kehidupan jutaan manusia.
Dunia kini menghadapi pilihan, melihat Tiongkok sebagai ancaman yang harus dibendung, atau sebagai mitra yang bisa membawa kemajuan bersama. Yang jelas, momentum ini menunjukkan bahwa masa depan inovasi medis tidak lagi eksklusif milik Barat. Tiongkok telah menegaskan dirinya sebagai motor baru dalam perjalanan umat manusia menuju teknologi yang lebih manusiawi, inklusif, dan transformatif.