Jumat, 20 Juni 2025 18:35:59 WIB

Konflik Iran-Israel di Mata Tiongkok: Cermin Kegagalan AS Menjaga Keadilan dan Kemanusiaan di Palestina
International

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi

Ketegangan di Timur Tengah kembali memuncak pada pertengahan Juni 2025, ketika Israel dan Iran saling melancarkan serangan langsung, sebuah peristiwa langka yang menandai eskalasi militer paling serius dalam satu dekade terakhir. Serangan ini tidak hanya menimbulkan korban di kedua belah pihak dan merusak fasilitas publik strategis, tetapi juga mengguncang kembali stabilitas kawasan dan menimbulkan kekhawatiran internasional.

Banyak negara merespons dengan sikap hati-hati, memilih jalur diplomatik dan menghindari keterlibatan langsung. Namun di tengah hiruk-pikuk reaksi global atas konflik dua negara ini, terdapat satu ironi yang nyaris terlupakan bahwa akar dari konflik ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari penderitaan panjang rakyat Palestina yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade.

Krisis kemanusiaan di Gaza, Rafah, dan Tepi Barat seakan kembali tenggelam dari sorotan publik dan media internasional, tergantikan oleh narasi tentang konfrontasi militer antara dua kekuatan regional. Palestina, yang selama ini menjadi pusat pergolakan di kawasan, perlahan diposisikan hanya sebagai latar dari drama geopolitik yang lebih besar.

Padahal, konflik antara Iran dan Israel tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari kegagalan sistem internasional dalam menyelesaikan akar konflik di Palestina, dari stagnasi dunia Arab yang tidak lagi bersuara keras terhadap agresi Israel, serta dari peran Iran yang secara aktif dan terbuka memilih untuk menantang dominasi militer Israel di kawasan.

Tindakan Iran untuk terus mendukung kelompok perlawanan Palestina bukan hanya merupakan bagian dari kepentingan politik nasional, tetapi juga merupakan upaya membawa pesan moral bahwa Palestina tidak boleh dilupakan. Ketika sebagian besar dunia memilih sikap netral atau sekadar kecaman simbolik terhadap kekejaman yang terjadi, Iran mengambil risiko besar untuk mengingatkan dunia bahwa ada tragedi kemanusiaan yang belum pernah terselesaikan. Maka eskalasi terbaru antara Iran dan Israel tidak dapat dibaca semata-mata sebagai konflik bilateral, melainkan sebagai cerminan dari kegagalan kolektif dalam menegakkan keadilan global.

Mengapa hanya Iran yang berani secara terbuka menghadapi Israel secara militer, bahkan dengan konsekuensi kehancuran ekonomi dan serangan balasan yang mematikan? Mengapa negara-negara kuat di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, dan Turki yang memiliki kekuatan militer dan sumber daya besar, justru tidak melakukan tindakan berarti, kecuali pernyataan normatif yang tidak mengubah situasi di lapangan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menelaah lebih dalam bagaimana Iran membangun perlawanan terhadap Israel sebagai bagian dari identitas nasional dan strategi luar negerinya, sekaligus memahami kontras moral antara negara-negara yang aktif membela Palestina dengan yang memilih diam.

Dukungan Iran terhadap Palestina tidak dapat dilepaskan dari akar ideologisnya. Sebagai negara Syiah teokratis yang lahir dari Revolusi Islam 1979, Iran mengadopsi anti-Zionisme sebagai bagian dari fondasi ideologi negara dan kebijakan luar negeri. Palestina dalam narasi resmi Iran bukan hanya korban penjajahan, melainkan simbol perlawanan terhadap kekuatan hegemonik global, terutama Amerika Serikat (AS) dan Israel.

Dukungan terhadap kelompok seperti Hamas, Jihad Islam Palestina, dan Hizbullah bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun jaringan pengaruh dan memperluas daya tawar Iran dalam berbagai isu strategis, termasuk program nuklir dan sanksi internasional.

Dari perspektif realisme dalam hubungan internasional, tindakan Iran juga mencerminkan upaya mengejar kepentingan nasionalnya secara rasional. Memperkuat jaringan perlawanan di kawasan akan meningkatkan daya tawar Iran dalam percaturan global. Namun, langkah ini bukan tanpa pengorbanan besar. Iran telah kehilangan tokoh-tokoh penting, seperti Jenderal Qassem Soleimani, yang dibunuh dalam serangan drone oleh Amerika Serikat pada tahun 2020, serta ilmuwan nuklir Mohsen Fakhrizadeh yang diyakini dibunuh oleh Mossad. Meski dihadapkan pada sanksi ekonomi yang melemahkan dan ancaman militer yang terus membayangi, Iran tetap mempertahankan posisinya dalam membela Palestina, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar wacana politik, tetapi bagian dari strategi jangka panjang yang diperhitungkan.

Dalam konteks ini, sikap Iran dapat dikatakan berada di posisi yang lebih benar secara moral dan etis. Keteguhan mereka membela rakyat tertindas tanpa pamrih keuntungan ekonomi langsung menunjukkan bahwa keberpihakan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan masih bisa ditempuh, bahkan oleh negara yang berada dalam tekanan berat. Pandangan serupa juga muncul dari sikap Republik Rakyat Tiongkok (RRT), meski pendekatan yang digunakan jauh lebih diplomatik daripada militeristik.

Tiongkok, yang selama ini dikenal menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan stabilitas kawasan, mulai mengambil peran aktif dalam isu Palestina, terutama setelah keberhasilannya menengahi rekonsiliasi Iran–Arab Saudi pada tahun 2023. Tiongkok secara terbuka mengutuk kekerasan Israel terhadap warga sipil Palestina dan menyerukan penghentian kekerasan serta penghormatan terhadap hukum internasional. Sikap ini tidak semata strategi diplomasi global, tetapi bagian dari narasi besar yang ingin dibangun Beijing bahwa tatanan dunia multipolar harus berakar pada keadilan dan kemanusiaan, bukan dominasi kekuatan tunggal seperti yang kerap dijalankan oleh AS.

Di sisi lain, AS dan Israel memperlihatkan dinamika yang sangat berbeda. Amerika, yang memiliki kekuatan untuk menghentikan agresi Israel melalui tekanan ekonomi dan politik, justru memilih untuk terus memberikan dukungan militer yang besar dan membela Israel di berbagai forum internasional. Pada tahun 2023–2024, Amerika Serikat tercatat mengucurkan bantuan militer sebesar hampir $18 miliar kepada Israel. 

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kuatnya pengaruh lobi pro-Israel seperti Komite Urusan Umum Amerika-Israel (AIPAC) dalam politik domestik Amerika, serta kepentingan industri militer yang diuntungkan dari terus berlangsungnya konflik di kawasan Timur Tengah. Dalam kerangka ini, perang menjadi bagian dari ekonomi politik, dan penderitaan manusia berubah menjadi collateral damage dari kepentingan strategis.

Israel sendiri, dalam pendekatan realisnya, memprioritaskan dominasi militer dan keamanan nasional di atas segala hal lain. Mereka memandang setiap ancaman dari Palestina atau Iran sebagai pembenaran untuk tindakan militer, termasuk pembangunan permukiman ilegal dan penerapan sistem yang oleh banyak pengamat disebut sebagai apartheid modern.

Ironisnya, negara yang lahir dari pengalaman Holocaust justru mengulangi praktik penindasan sistemik terhadap rakyat lain. Sementara itu, AS terus berperan sebagai pelindung utama kebijakan tersebut di panggung global, menjadikan narasi “demokrasi” dan “hak asasi manusia” sebagai alat selektif yang hanya digunakan saat menguntungkan secara politik.

Apa yang ditunjukkan oleh AS dan Israel bukan hanya sikap politik, tetapi refleksi dari krisis nilai dalam sistem global. Ketika nilai-nilai kemanusiaan hanya dijunjung jika sejalan dengan kepentingan strategis, maka prinsip-prinsip tersebut tidak lagi universal. Dunia internasional menghadapi ujian serius dalam konsistensi moralnya, ketika negara-negara yang dianggap otoriter seperti Iran dan Tiongkok justru menunjukkan keberpihakan kepada korban, sementara yang menyebut dirinya sebagai penjaga demokrasi seperti AS dan Barat justru membela penindas.

Konflik Israel-Palestina tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan pragmatis atau solusi jangka pendek. Ini adalah konflik ideologis, geopolitik, dan ekonomi yang melibatkan aktor-aktor besar dunia. Ketidakmampuan dunia untuk menghentikan penderitaan rakyat Palestina mencerminkan kegagalan kolektif dalam menegakkan keadilan, dan menunjukkan bahwa sistem internasional lebih sibuk mempertahankan kepentingan strategis daripada melindungi kehidupan manusia.

Melihat dari perspektif teori hubungan internasional realis, semua negara bertindak demi kepentingan nasional mereka. Namun, menjadikan kepentingan sebagai justifikasi tunggal berarti mengabaikan dimensi moral yang sangat penting dalam membangun dunia yang beradab. Maka dukungan terhadap Palestina bukan hanya soal solidaritas politik, tetapi juga tentang komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dalam situasi global seperti hari ini, Iran dan Tiongkok, meskipun kerap dicitrakan negatif oleh Barat, justru telah menunjukkan bahwa keberanian moral dalam politik luar negeri masih mungkin terjadi. Dan inilah yang justru hilang dari narasi kekuatan besar seperti AS dan Israel. Dunia memerlukan paradigma baru dalam menyikapi konflik, yang tidak hanya rasional secara strategi tetapi juga benar secara etis dan berani secara moral.

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner
Giorgia Meloni International

Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

banner