Sabtu, 26 April 2025 16:17:1 WIB

Dari Jet Siluman hingga Kapal Induk: Tiongkok Sukses Saingi AS & Barat dalam Membangun Kekuatan Militer
Teknologi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi Teknologi Pertahanan dan Militer Tiongkok

Di penghujung tahun 2024 lalu, diketahui bahwasanya industri pertahanan Tiongkok kembali mencuri perhatian dunia internasional melalui penampakan dua pesawat tak berekor dengan desain menyerupai berlian yang sedang mengudara di kawasan Chengdu, salah satu pusat pengembangan kedirgantaraan di bawah Chengdu Aircraft Corporation.

Desain aerodinamis tersebut mengindikasikan kemampuan siluman, mirip dengan jet tempur generasi kelima milik Amerika Serikat (AS), seperti F-22 Raptor atau F-35 Lightning II. Jika dikonfirmasi, pesawat ini akan menjadi pesawat siluman kedua dalam arsenal Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army/PLA) setelah J-20, yang diperkenalkan pada tahun 2017 dan kini telah memiliki varian kembar tempat duduk, J-20S.

Transformasi pesat dalam industri pertahanan Tiongkok tidak terjadi secara tiba-tiba. Dalam satu dekade terakhir, negara ini telah mengembangkan berbagai sistem persenjataan strategis, mulai dari jet tempur siluman hingga kapal induk dan drone tempur. Kapal induk terbaru mereka, Fujian, yang diluncurkan pada awal 2024, menjadi kapal induk ketiga Tiongkok setelah Liaoning (2012) dan Shandong (2019). Kecepatan pembangunan Fujian, hanya sekitar dua tahun sejak peletakan lunas hingga peluncuran, menjadi indikator efisiensi dan kemajuan teknologi industri galangan kapal Tiongkok, khususnya galangan Jiangnan di Shanghai. 

Tidak hanya di laut, pengembangan kekuatan udara juga menjadi prioritas utama. Dua prototipe jet tempur generasi kelima lainnya, yakni Shenyang J-35A dan J-15T, tengah dikembangkan. Keduanya mengadopsi teknologi dari model barat dan Rusia, yaitu F-35A dan Su-33. Hal ini menunjukkan pendekatan sistematis Tiongkok dalam mengadaptasi teknologi yang telah ada sebagai langkah awal menuju inovasi mandiri.

Salah satu lompatan besar lainnya dalam kekuatan udara Tiongkok adalah pengembangan unmanned aerial vehicles (UAV). UAV CH-7 dan CH-9 yang diperkenalkan oleh China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC) menandai transisi menuju perang udara tanpa awak yang canggih. CH-7, yang dianggap sebanding dengan UAV siluman RQ-180 milik Northrop Grumman, memiliki kecepatan jelajah Mach 0,5 dan ketinggian operasional hingga 16.000 meter. UAV ini dirancang untuk melaksanakan misi pengintaian strategis dan serangan presisi, serta mendukung integrasi operasional dengan UAV tempur seperti CH-9.

Metode yang digunakan Tiongkok dalam membangun industri pertahanannya mencerminkan strategi adaptasi teknologi yang cermat. Seperti dalam pengembangan industri otomotif sebelumnya, Tiongkok membuka diri terhadap teknologi luar negeri, mempelajarinya, dan mengembangkan sistem sendiri. Namun, berbeda dengan sektor sipil, industri militer sangat tertutup, sehingga Tiongkok mengandalkan pembelian peralatan bekas atau setengah jadi dari negara-negara yang bersahabat, untuk kemudian dibedah dan diadaptasi.

Kasus akuisisi kapal induk Varyag dari Ukraina menjadi contoh paling nyata. Kapal setengah jadi ini dibeli pada awal 1990-an, tiba di Tiongkok tahun 2002, dan setelah direkonstruksi, resmi menjadi Liaoning pada tahun 2012. Pendekatan serupa diterapkan pada pengembangan sistem jet tempur dan UAV.

Kemajuan industri pertahanan ini memiliki dampak strategis yang signifikan, baik secara regional maupun global. Dalam laporan Lowy Institute Asia Power Index 2024, Tiongkok menduduki peringkat kedua dalam kategori kapabilitas militer dengan skor 69,7, tepat di bawah (AS). Hal ini menandakan bahwa PLA kini merupakan kekuatan militer global yang tidak dapat diabaikan. Dengan tiga kapal induk operasional, pesawat siluman generasi kelima, dan UAV canggih, Tiongkok secara progresif menutup kesenjangan teknologi dengan kekuatan militer Barat.

Di kawasan Asia-Pasifik, peningkatan kapabilitas militer Tiongkok memicu dinamika baru dalam keseimbangan kekuatan. Ketegangan dengan Jepang di utara, rivalitas geopolitik dengan India di barat, perselisihan dengan Taiwan di timur, serta konflik maritim di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan beberapa negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tengara (ASEAN) dan sekutu AS, semuanya berpotensi meningkat seiring dengan proyeksi kekuatan Tiongkok. Strategi “pengerasan otot” ini menunjukkan bahwa modernisasi militer Tiongkok bukan sekadar pencapaian teknologi, melainkan bagian dari upaya memperkuat posisi geopolitik dan menegaskan peran sebagai adidaya global.

Oleh karena itu, kemajuan industri pertahanan Tiongkok merupakan hasil dari strategi jangka panjang yang melibatkan akuisisi teknologi, peningkatan kapasitas produksi dalam negeri, dan pengembangan sistem senjata yang kompetitif secara global. Di satu sisi, hal ini mencerminkan keberhasilan Tiongkok dalam membangun kemandirian teknologi strategis. Di sisi lain, komunitas internasional harus mencermati implikasinya terhadap stabilitas kawasan dan dinamika kekuatan global di masa mendatang.

Komentar

Berita Lainnya

Prioritas Agenda Kerja Sama Tiongkok-ASEAN Teknologi

Selasa, 3 November 2020 9:58:24 WIB

banner
CMG Siap Beritakan CIIE ke-3 Teknologi

Rabu, 4 November 2020 1:22:22 WIB

banner
Han Zheng Hadiri Upacara Pembukaan CIIE Ke-3 Teknologi

Jumat, 6 November 2020 1:14:28 WIB

banner
Tiongkok Gelar Harbolnas Terbesar di Dunia Teknologi

Selasa, 10 November 2020 19:55:39 WIB

banner