Sabtu, 12 Juli 2025 19:17:19 WIB

Mengapa Tiongkok Sukses dan Amerika Serikat Justru Stagnan dalam Mengatasi Kemiskinan?
Ekonomi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Persentase penduduk di Tiongkok yang berada dalam kemiskinan ekstrem dari waktu ke waktu

Di tengah narasi ekonomi global yang semakin kompleks, kisah pengentasan kemiskinan di Tiongkok kerap dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah pembangunan manusia. Transformasi luar biasa dari sebuah negara agraris miskin menjadi kekuatan ekonomi global bukan hanya mengubah wajah Tiongkok, tetapi juga memberi dampak besar terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi dunia.

Namun, ketika kisah ini ditempatkan berdampingan dengan kenyataan kemiskinan di Amerika Serikat (AS), negara yang telah lama dianggap sebagai lambang kemakmuran dan stabilitas. Maka muncullah kontras mencolok yang menimbulkan pertanyaan penting. Bagaimana dua negara dengan kapasitas ekonomi raksasa dapat menghasilkan hasil yang sangat berbeda dalam mengatasi kemiskinan selama lima dekade terakhir?

Perbandingan ini menyentuh akar dari perdebatan panjang dalam teori pembangunan global, khususnya mengenai peran negara versus peran pasar dalam proses peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tiongkok menempuh jalur pembangunan yang dipimpin negara secara kuat, dengan intervensi besar-besaran dan strategi yang sangat terstruktur untuk mengentaskan kemiskinan.

Sejak awal reformasi ekonomi tahun 1978 di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, negara ini mulai menggeser pendekatan ekonomi kolektivistik menuju model ekonomi pasar sosialis yang lebih fleksibel, tanpa sepenuhnya meninggalkan kendali negara. Pemerintah memainkan peran sentral dalam menetapkan prioritas pembangunan, mengalokasikan sumber daya, serta membangun infrastruktur fisik dan sosial, terutama di wilayah pedesaan dan tertinggal. Pendekatan ini sering disebut sebagai model “Beijing Consensus,” berbeda dengan “Washington Consensus” yang mengandalkan liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan pengurangan peran negara.

AS sebaliknya, memilih jalur pembangunan berbasis pasar bebas. Sejak tahun 1980-an, pendekatan neoliberal yang menekankan efisiensi pasar, deregulasi, dan pembatasan peran pemerintah dalam program-program sosial menjadi arus utama dalam kebijakan publik. Negara memang memiliki program bantuan sosial, namun skala dan cakupannya seringkali dianggap tidak cukup untuk menjangkau kelompok paling rentan, terutama dalam konteks biaya kesehatan, pendidikan, dan perumahan yang tinggi. Hasilnya, meskipun pertumbuhan ekonomi di AS secara umum mengesankan, distribusinya tidak merata dan tidak cukup untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan dalam jangka panjang.

Data menunjukkan betapa kontrasnya realitas di dua negara ini. Menurut Bank Dunia, lebih dari 800 juta orang di Tiongkok telah dientaskan dari kemiskinan ekstrem sejak reformasi dimulai pada akhir tahun 1970-an. Pada awal tahun 1980-an, sekitar 85% penduduk Tiongkok hidup dengan pengeluaran di bawah $1,25 per hari dalam Paritas Daya Beli (PPP) tahun 2005).

Namun, pada tahun 2019, angka itu turun drastis menjadi hanya 0,1%, mendekati penghapusan total kemiskinan ekstrem. Perubahan ini bukan hanya hasil dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari berbagai program terarah dan progresif seperti reformasi agraria, pembangunan infrastruktur pedesaan, pendidikan, dan kampanye pengentasan kemiskinan bertarget yang diluncurkan sejak tahun 2013.

Pemerintah secara aktif mengidentifikasi rumah tangga miskin secara individu, menawarkan bantuan keuangan, pelatihan keterampilan, bahkan relokasi bagi keluarga yang tinggal di daerah terpencil yang tidak memungkinkan untuk berkembang secara ekonomi. Strategi ini menunjukkan peran negara yang bukan hanya regulator, tetapi juga agen aktif pembangunan sosial.

Sementara itu, AS menunjukkan stagnasi dalam indikator kemiskinan yang relatif konsisten selama lima dekade. Pada tahun 1970, tingkat kemiskinan resmi berada pada angka sekitar 12%, dan pada tahun 2020 angkanya hanya turun sedikit menjadi 11,4%. Dalam jumlah absolut, karena populasi AS bertambah, jumlah orang miskin bahkan meningkat dari sekitar 25 juta pada tahun 1970-an menjadi lebih dari 37 juta pada awal tahun 2020-an. Ini terjadi meskipun pendapatan nasional bruto per kapita meningkat tajam.

Fenomena ini menggambarkan pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan hasil atau dalam istilah para ekonom, “growth without equity.” Sistem pasar yang efisien tidak serta-merta menjamin keadilan sosial. Banyak warga Amerika tetap hidup dalam kondisi rawan, di mana akses terhadap kebutuhan dasar seperti perawatan kesehatan, pendidikan tinggi, dan perumahan layak masih menjadi tantangan. Terlebih lagi, ketimpangan rasial dan geografis memperburuk kondisi, di mana komunitas kulit hitam dan Hispanik mengalami tingkat kemiskinan dua kali lebih tinggi dibandingkan kelompok mayoritas kulit putih.

Secara historis, akar kemiskinan di Tiongkok jauh lebih dalam dibandingkan AS. Sebelum tahun 1978, Tiongkok adalah negara miskin dengan sistem pertanian kolektif yang tidak efisien dan sering mengalami bencana kelaparan. Reformasi ekonomi pasca-1978 membawa titik balik penting. Kebijakan de-kolektivisasi pertanian dan sistem tanggung jawab rumah tangga memberikan insentif langsung kepada petani untuk meningkatkan produksi.

Urbanisasi besar-besaran dan industrialisasi diikuti oleh migrasi ratusan juta pekerja desa ke kota, menciptakan mobilitas sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Program-program pemerintah seperti “Rencana Pengurangan Kemiskinan 8-7” tahun 1994–2000 dan “Garis Besar Pembangunan Daerah Tertinggal” tahun 2001–2010 menjadi dasar dari intervensi strategis yang mendalam. Puncaknya, di bawah pemerintahan Xi Jinping, kampanye pengentasan kemiskinan bertarget menjadi simbol dari komitmen negara terhadap keadilan sosial dan inklusi ekonomi.

Sebaliknya, AS mengalami apa yang oleh para sosiolog disebut sebagai “kemiskinan dalam masyarakat makmur.” Ini bukanlah kemiskinan absolut yang mengancam kelangsungan hidup, melainkan kemiskinan relative sebagai tanda ketidakmampuan untuk mengakses standar hidup layak di tengah masyarakat yang sangat maju. Kebijakan sosial seperti Medicaid (asuransi kesehatan untuk warga berpenghasilan rendah), SNAP (bantuan pangan), dan kredit pajak memang membantu, namun belum cukup menjangkau seluruh kelompok rentan.

Ketergantungan pada pendekatan pasar membuat banyak warga bergantung pada pekerjaan bergaji rendah dengan sedikit perlindungan sosial. Ketika krisis melanda, seperti pandemi COVID-19 atau resesi ekonomi, kelompok inilah yang paling terdampak. Dalam masyarakat dengan sistem perlindungan sosial terbatas, jatuh ke dalam kemiskinan bisa terjadi dengan sangat cepat.

Dari sudut pandang teori pembangunan kontemporer, keberhasilan Tiongkok bisa dibaca dalam kerangka capability approach yang dikemukakan oleh Amartya Sen. Menurutnya, pengentasan kemiskinan tidak semata-mata soal meningkatkan pendapatan, tetapi tentang memperluas kebebasan dan kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga.

Tiongkok, melalui pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan mobilitas sosial, berhasil memperluas kapabilitas dasar rakyatnya. Di sisi lain, AS menunjukkan bahwa tanpa perhatian terhadap distribusi dan akses, kemakmuran nasional tidak secara otomatis diterjemahkan ke dalam peningkatan kesejahteraan bagi semua warga.

Perbandingan antara Tiongkok dan AS dalam konteks kemiskinan bukan hanya mencerminkan dua sistem ekonomi yang berbeda, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pendekatan kebijakan publik, struktur institusi, dan nilai-nilai sosial memengaruhi hasil pembangunan. Tiongkok memilih jalan panjang, berisiko tinggi, dan sangat terorganisasi untuk mengangkat ratusan juta orang dari kemiskinan, sementara AS tetap menghadapi tantangan mendalam dalam mendistribusikan hasil pertumbuhan ekonominya secara adil.

Dalam dunia yang sedang menghadapi berbagai krisis, mulai dari perubahan iklim hingga ketimpangan global. Kisah kontras antara dua negara adidaya ini menyajikan pelajaran penting bahwa pembangunan tidak cukup hanya diukur dari pertumbuhan, melainkan juga dari seberapa merata dan adil hasilnya dinikmati.

Narasi global pembangunan kini tidak lagi hanya mengandalkan satu model dominan, tetapi justru menuntut keberagaman pendekatan yang mampu menjawab tantangan-tantangan nyata masyarakat. Dalam konteks ini, mungkin sudah saatnya dunia lebih terbuka terhadap alternatif model pembangunan yang berhasil, tak peduli dari mana asalnya.

Komentar

Berita Lainnya

Seperempat abad yang lalu Ekonomi

Kamis, 6 Oktober 2022 13:29:54 WIB

banner
Huawei mengumumkan Ekonomi

Kamis, 20 Oktober 2022 10:1:4 WIB

banner